Bahasa · My Blabber Side · My Chaotic Philosophy · Uncategorized

Wangi Bedak dan Minyak Kayu Putih

Sore hari, di hari kedua saya di usia yang baru—yang mana nggak akan saya sebutkan berapa-berapanya karena saya masih belum bisa menerima kenyataan—dengan motor saya, Isabella (iya, saya namain motor saya Isabella, tolong jangan ditanya kenapa) sepulang kantor, seperti biasa saya mengambil rute pintas lewat kompleks pemukiman. Hari itu cerah dan banyak warga berkumpul di jalan yang biasanya sepi itu. Di ujung tikungan, saya melihat segerombolan anak kecil dengan kendaraan-kendaraan mungil warna-warni mereka. Sebagian dengan sepeda, otopet, mobil-mobilan plastik yang dikayuh pedal, berpacu dengan sebagian lain yang hanya berlari di atas kaki mereka. Saya melintasi mereka dari arah yang berlawanan di saat angin secara dramatis menghembus dari arah yang tepat membawa wangi-wangian yang, dulu sekali, akrab di hidung saya. Iya, wangi bedak bayi dan minyak kayu putih.

Saya yang saat itu nggak memakai masker motor pun langsung terhempas nostalgia seketika. Dengan seenaknya, saya berhentikan motor saya di tengah jalan dan menengok kembali ke belakang. Ke tempat sekumpulan anak itu, dengan wajah putih belepotan bedak tabur dan rambut basah lepek habis mandi, ribut berteriak dan tertawa-tawa memperdebatkan siapa yang duluan sampai garis finish.

Pikir saya, waduh, sayang sekali nggak bawa kamera analog, karena pemandangan ini sangat berpotensi jadi foto ciamik ala-ala street photography yang tengah digandrungi pecinta analog masa kini. Berhubung apabila dipotret dengan kamera handphone maka nilai estetikanya akan menurun drastis, saya pasrah saja dengan momen photograph-able itu dan lebih memilih memperhatikan mereka lebih lanjut. Beruntung saat itu jalan sedang sepi kendaraan, jadi nggak ada yang akan menggerung-gerungi saya karena berhenti persis di tengah jalan.

Anehnya, semakin memperhatikan mereka, justru bukan mereka yang saya lihat. Bayangan mereka jadi kabur, dan digantikan oleh bayangan saya sendiri. Saya dari belasan tahun yang lalu. Saya yang waktu itu juga suka main sore-sore dengan kakak dan anak-anak tetangga sehabis mandi, dengan muka putih belepotan bedak dan badan wangi minyak kayu putih.

Saya jadi bertanya-tanya, anak macam apakah saya di masa kecil belasan tahun lalu itu? Apa saya lebih sering tertawa? Apa saya lebih jujur dan vokal? Apa saya jauh lebih murah hati? Atau justru jauh lebih menyebalkan karena emosi saya yang sedari dulu memang sangat sulit dikendalikan?

Orang-orang selalu mengasosiasikan ‘kekanak-kanakkan’ dengan sebuah istilah yang terdengar sangat negatif. Tapi di saat saya memandang gelak tawa anak-anak kecil itu saling bersahutan, saya jadi bertanya-tanya, di bagian mananya yang negatif?

Semakin dewasa, kehidupan seorang manusia terasa semakin absurd buat saya. Mungkin inilah yang membuat sindrom anxiety terparah menyerang saya setiap bulan April, di setiap tahun sejak usia saya menginjak 20 tahun. Begitu banyak tuntutan tidak masuk akal, di mana semua orang dipaksa memiliki topeng dengan warna dan bentuk berbeda-beda dan tahu kapan harus memakainya di saat bergantian.

Lucu, padahal topeng warna-warni itu justru identik dengan mainan anak-anak, ya kan?

Tapi kalau diingat-ingat lagi, sepertinya jadi anak-anak juga tidak mudah, ya. Anak kecil memang tidak diharuskan punya koleksi topeng berbagai macam selayaknya orang dewasa, tapi mengetahui fakta bahwa dunia ini dikuasai oleh dominasi orang dewasa saja sudah cukup buruk sebenarnya, untuk seorang anak kecil.

Memang sih, hidup tidak akan pernah terasa mudah bagi spesies manusia. Tua atau muda, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, dulu atau sekarang. Hal inilah yang membuat saya cenderung lebih kepingin jadi kucing daripada jadi manusia lainnya (bahkan Ratu Elizabeth sekali pun) ketika mental saya sedang digempur habis-habisan oleh kenyataan di dunia luar.

Belum sempat saya menemukan titik terang (atau faedahnya, jika memang ada) dari pikiran random saya di tengah jalan, saya dikejutkan dengan suara klakson nyaring garang beringas dari mobil SUV yang tahu-tahu sudah ada di hadapan saya, ribut menuntut hak atas jalan. Anak-anak tadi pun sudah buyar, mereka sudah melesat lebih jauh ke ujung tikungan. Maka saya pun terpaksa memacu kembali motor dan melanjutkan perjalanan pulang.

Di sepanjang jalan pulang, tak habis-habisnya tercium di hidung saya wangi yang polos namun memikat dari anak-anak tadi. Perpaduan wangi yang mungkin tidak akan bisa saya lupakan bahkan walau saya sudah jadi tua dan renta nanti.

Wangi bedak bayi dan minyak kayu putih.

Leave a comment