Saya di waktu kecil dan remaja dulu adalah seorang pembaca yang rakus. Betul. Setiap hari saya baca bukuuuuu terus. Teman-teman sekolah saya hampir nggak pernah lihat saya nggak bawa buku bacaan di tas. Orang-orang rumah saya hampir nggak pernah liat saya pulang sekolah tanpa dilanjutkan dengan baca buku sampe sore (kadang sampai malam, kadang sampai pagi lagi malah). Penjaga perpustakaan di SMP saya hampir nggak pernah absen tiap minggu bawa pulang minimal 3 buku setiap pinjam dan nanya “Buku segini kamu habis dua hari aja?” dan selalu saya jawab dengan “hahaha, Bu, segini justru kurang malah!”
Perpustakaan selalu jadi tempat favorit saya. Hmm sebenarnya ketika SD nggak juga sih karena memang nggak ada perpustakaan di SD saya dulu. Saat SD, ‘perpustakaan’ saya adalah rumah Tante saya. Tante saya juga hobi baca buku, koleksi serial Lima Sekawan dan Hardy Boys lengkap, ada Laura Ingalls, Little Women, Alfred Hitchock, Agatha Christie, pokoknya banyak deh buku-buku serial barat yang booming di tahun 70-80an. Tinggal sebut saja, Tante saya pasti punya dan saya hampir pasti pernah baca minimal 2 judulnya (meski sekarang sudah lupa karena ingatan saya mirip Dory temannya Nemo).
Baru deh ketika SMP saya jadi merajalela. Saya bisa dengan pede menyatakan bahwa saya udah baca seluruh buku yang ada di perpustakaan SMP Negeri 1 Depok pertahun 2009. Saat itu saya baca apa pun isi perpustakaan, tidak terkecuali. Bahkan buku beternak hamster dan budidaya tanaman hias aglonema. Eh jangan ketawa, betulan lho. Nah ketika SMA, perpustakaannya jauuuuuuuuuh lebih kecil, saya terlalu malas untuk datang duluan ketika masuk siang, sementara setelah masuk pagi, pintunya hampir selalu terkunci setiap saya datangi sepulang sekolah. Jadi bacaan saya saat SMA itu either beli sendiri, pinjam teman, atau pinjam ke peminjaman buku dekat rumah.
Berkat kegilaan saya dengan buku sejak kecil itulah saya sudah mulai menulis novel sejak SD. Kemudian sejak saat itu kerjaan saya tiap hari sekolah, baca buku, tulis novel. Makanya jangan heran kalo lihat saya bisa mengetik dengan 10 jari dan kecepatan yang luar biasa tinggi tanpa perlu lihat keyboard. Itu hasil dari bertahun-tahun ketak-ketik novel di komputer setiap hari.
Tapi sejak kuliah frekuensi baca saya menurun. Begitu juga dengan frekuensi menulis. Meluncur curam sangat drastis. Saya mulai kenal dunia luar dan menyadari bahwa ternyata dunia organisasi kampus seru juga ya, desain itu super asyik ya, fotografi dan videografi itu unik banget ya, fashion dan styling itu super menyenangkan ya, marketing dan bisnis itu keren banget ya. Dan begitulah, saya yang dari dulu minatnya kebanyakan ini selanjutnya mulai menjelajah semakin jauh dan jauh lagi.
Sekarang setelah bertahun-tahun saya jauh dari dunia tulis-menulis, iseng-iseng saya kepo juga dan cukup kaget menyadari bahwa anak muda jaman sekarang lebih melek sastra dan pemilihan kata-kata dibanding anak-anak muda di jaman saya. Ya saya harap ini bukan cuma karena tuntutan caption di instagram ya.
Tapi setelah saya telaah lagi, ah kok ya pemakaian sastranya untuk hal-hal receh yang remeh temeh gitu lho. Lebih kayak, ah apaan sih, seperti kayak menurunkan derajat bahasa itu sendiri deh kalau dipakai untuk hal yang seperti itu. Ngerti maksudnya nggak? Ya mungkin nggak ngerti ya karena saya juga bingung bagaimana menjelaskannya. Silakan tebak sendiri lah hahaha.
Sekarang, sudah sekitar 5-6 tahun belakangan, saya jadi super picky dan super kritis sama buku yang saya baca. Iya, dulu saya baca apa pun. Tapi hal itu bikin saya jadi paham mana yang berkualitas dan mana yang tidak. Mana yang layak dan mana yang tidak. Mana yang hidden gem dan mana yang cuma bersepuh emas padahal cuma batu biasa. Kalau istilah baratnya mah, “Know the box, then break out of them”. Alias kenalin dulu secara keseluruhan baru bisa kasih aksi.
Saya memang sudah nggak in-touch lagi dengan dunia tulis menulis sih (kecuali penulisan konten yang menurut saya derajatnya jauh di bawahnya karena berkaitan dengan marketing, bukan dengan sastra murni), tapi saya suka pusing kepala lihat kualitas buku lokal di toko sekarang ini.
Contohnya saja, begini lho, menurut saya, untuk jadi seorang penulis yang baik itu bukan cuma butuh plot atau alur cerita. Penulis yang baik itu harus mampu membuat karakterisasi yang kuat dan bagus. Maksudnya bukan yang ‘kuat’ seperti Thor atau yang ‘bagus’ kayak muka cowok korea. Tapi yang real, detail, punya emosi yang nyata, semua sense-nya digali dengan dalam, diungkapkan keadaan psikis dan pemikirannya, punya ciri khas, ada personal developmentnya. Bukan sekadar karakter stereotip yang maha sempurna bisa ini-itu tapi lempeng kayak robot.
Kemudian penulis yang baik harus dapat membuat setting yang se-real mungkin. Karena di sanalah tempat karakter-karakternya hidup. Kalau dunianya dunia buatan, dia harus bayangkan bahwa dunia itu betul-betul ada. Pikirkan sampai ke detail terkecilnya kalau bisa sampai ke suhu, jenis tanah, warna langit, semuanya! Kalau pakai dunia nyata maka RISET! Google map punya fitur google street di mana kita bisa ‘berjalan-jalan’ di dunia maya, manfaatkan hal itu untuk memindahkan isi google map ke tulisan, senyata mungkin.
Itu baru dari dua aspek ya, karakterisasi dan worldbuilding. Masih banyak unsur lainnya.
Dan lagi, saya muak sekali membaca resensi buku yang bertebaran sekarang ini (udah dari dulu sih sebenarnya). Begini mas mba kebanyakan, yang kamu tulis itu bukan RESENSI tapi RANGKUMAN PLOT. Setelah saya jabarkan beberapa poin di atas, harusnya tahu kan kalau karya baik itu bukan cuma dibangun dari plot saja. Kamu harus bisa menilai secara objektif, karakterisasinya bagaimana ya, gaya bahasa sudah tepat belum ya, latarnya bisa kebayang nggak ya, kecepatan alurnya sudah pas atau belum ya, unsur ekstrinsiknya sudah benar belum ya, cara pembukaan dan penutupnya cukup impactful nggak ya, cara penulisannya konsisten dan jelas nggak ya, daaaaaaaan lain-lain.
Jadi, tolonglah, saya muak sekali baca review-review buku yang cuma bicara “Overall saya suka sekali dengan buku ini karena endingnya bla bla bla bla…” Aduh please. Pantesan kualitas buku lokal gitu-gitu aja, lha wong mindset pembacanya kayak begini. Iya plot itu memang sangat penting, tapi itu saja belum cukup dipakai jadi dasar apakah sebuah cerita bagus atau tidak dan penulis itu bagus atau tidak. Hargailah penulis lain yang betul-betul melakukan riset segala rupa untuk memikirkan semua detail, unsur intrinsik dan ekstrinsik tulisannya.
Long story short, memang post saya ini lebih bertujuan untuk menyombongkan diri dan nyinyirin pembaca dan reviewer aja sih HAHAHAHAHA. Tapi di tengah kesombongan saya yang biasanya ini, semoga dapat menjadi masukan ya.
Jadi kembali ke masalah baca buku. Tahun lalu sebenarnya adalah semacam kebangkitan buat saya karena di tahun-tahun sebelumnya jumlah buku yang saya baca sangat minim. Keasyikan hidup di dunia nyata dan terjun di bidang minat yang lain sepertinya (#HalahAlasan). Mungkin start dari tahun ini saya perlu baca buku lebih banyak lagi. Atau mungkin setelah ini saya bikin summary buku-buku yang saya baca di tahun 2018 lengkap dengan short review-nya. Ya memang agak telat sih but better than never, right?