#TheMorningTales · English · My Chaotic Philosophy

#LearnToday: God Answers if You Asks

Allah knows how denial person I am. Since I grown up realizing that I’m actually have a sensitive heart and learnt that the more sensitive person you are, the easier other people to hurt you, I keep it for myself. Too many people hurt me, betray me, and stab me in the back long long ago, and I don’t want it anymore. I don’t want to get hurt anymore.

Hence now I grown up hiding my fragility, showcasing my insensitivity more, and permanently wearing this I’m-a-warrior-I’m-strong-I’m-okay-and-I-don’t-need-your-help traits wherever I go and whatever happens to me. I build a wall so high around me so no one can pass. And whether I realized it or not, this applied to my relationship with Allah too.

But day by day He force me to admit it. He makes me realized that it’s okay to have a breakdown and be open about it. Hence I doing it, only in front of Him though. Only when I cried and pray to Him. And believe it or not, when I’m opening up to Him, admitting all my vulnerabilities, not pretending nor hiding anything, I can hear a voice inside my head answering:

“Understood. Your apologies and requests accepted. Thank you for your honesty.”

Then within minutes, even second, I feel better. As if my wounds heals really fast and the demons in my head is all fading away.

That’s when I realize, from human you can hide anything all you want. But God already seeing all of you.  Every microparts that you trying to hide, so it’s okay to tell Him anything, even things you tried to hide from Him because you knows He hates it.

He might hate it, but He never hates you. Hence if you ask, He will answer.

English · My Chaotic Philosophy

#LearnToday: Learn from a 13-Years-Old CEO

Quick writing this in middle of the work (My boss is right there! Ssstttt…) because I watch youtube while working and found this one that I should share everywhere (because so many negativity already and I think we should replace it with positivity more, agree?).

While what my 24-years-old do everyday is whining my love life, my mental instability, and my social dysfunctions, there she is a girl who build the world, and she just 13 years old.

Seriously, watching this slapped me right in the face, in an extremely good way. I have to start doing something useful and meaningful.

And I have to do it NOW.

#TheMorningTales · English · My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

#TheMorningTales – I Found What I Wanna Be

“What you want to be in 7 years?”

This question was popped out when I listening to a podcast about spirituality guidance this morning—which is a new thing amidst the business and marketing related podcasts that I usually listening to—and I just stopped, right in the middle of the stairs in the office. Shocked with the fact that I just got the answer myself. Usually I always hate this kind of question in a job interview. But this time I cant help to resonate with it. Finally after years and years and years doubting mysef and frustrating about what I wanna be in life, fulfilling other people’s expectation while being so harsh on myself, I found it. And it feels right.

In 7 years from now, I want to be a coach. I want to be either career, life, or business coach, or even them all at once, and I want to build an entrepreneur academy for young entrepreneurs who struggling to make their wishes come true. I want to guide and help people going through their obstacles in life. I want to share wisdom, experiences, and passion for those in need. Either from me, or from other people to another one.

But before that, I have to do many things and learn so so much more.

Bahasa · My Chaotic Philosophy · My Writer Side

Izin Menggerutu Sedikit, Ya

Saya di waktu kecil dan remaja dulu adalah seorang pembaca yang rakus. Betul. Setiap hari saya baca bukuuuuu terus. Teman-teman sekolah saya hampir nggak pernah lihat saya nggak bawa buku bacaan di tas. Orang-orang rumah saya hampir nggak pernah liat saya pulang sekolah tanpa dilanjutkan dengan baca buku sampe sore (kadang sampai malam, kadang sampai pagi lagi malah). Penjaga perpustakaan di SMP saya hampir nggak pernah absen tiap minggu bawa pulang minimal 3 buku setiap pinjam dan nanya “Buku segini kamu habis dua hari aja?” dan selalu saya jawab dengan “hahaha, Bu, segini justru kurang malah!”

Perpustakaan selalu jadi tempat favorit saya. Hmm sebenarnya ketika SD nggak juga sih karena memang nggak ada perpustakaan di SD saya dulu. Saat SD, ‘perpustakaan’ saya adalah rumah Tante saya. Tante saya juga hobi baca buku, koleksi serial Lima Sekawan dan Hardy Boys lengkap, ada Laura Ingalls, Little Women, Alfred Hitchock, Agatha Christie, pokoknya banyak deh buku-buku serial barat yang booming di tahun 70-80an. Tinggal sebut saja, Tante saya pasti punya dan saya hampir pasti pernah baca minimal 2 judulnya (meski sekarang sudah lupa karena ingatan saya mirip Dory temannya Nemo).

Baru deh ketika SMP saya jadi merajalela. Saya bisa dengan pede menyatakan bahwa saya udah baca seluruh buku yang ada di perpustakaan SMP Negeri 1 Depok pertahun 2009. Saat itu saya baca apa pun isi perpustakaan, tidak terkecuali. Bahkan buku beternak hamster dan budidaya tanaman hias aglonema. Eh jangan ketawa, betulan lho. Nah ketika SMA, perpustakaannya jauuuuuuuuuh lebih kecil, saya terlalu malas untuk datang duluan ketika masuk siang, sementara setelah masuk pagi, pintunya hampir selalu terkunci setiap saya datangi sepulang sekolah. Jadi bacaan saya saat SMA itu either beli sendiri, pinjam teman, atau pinjam ke peminjaman buku dekat rumah.

Berkat kegilaan saya dengan buku sejak kecil itulah saya sudah mulai menulis novel sejak SD. Kemudian sejak saat itu kerjaan saya tiap hari sekolah, baca buku, tulis novel. Makanya jangan heran kalo lihat saya bisa mengetik dengan 10 jari dan kecepatan yang luar biasa tinggi tanpa perlu lihat keyboard. Itu hasil dari bertahun-tahun ketak-ketik novel di komputer setiap hari.

Tapi sejak kuliah frekuensi baca saya menurun. Begitu juga dengan frekuensi menulis. Meluncur curam sangat drastis. Saya mulai kenal dunia luar dan menyadari bahwa ternyata dunia organisasi kampus seru juga ya, desain itu super asyik ya, fotografi dan videografi itu unik banget ya, fashion dan styling itu super menyenangkan ya, marketing dan bisnis itu keren banget ya. Dan begitulah, saya yang dari dulu minatnya kebanyakan ini selanjutnya mulai menjelajah semakin jauh dan jauh lagi.

Sekarang setelah bertahun-tahun saya jauh dari dunia tulis-menulis, iseng-iseng saya kepo juga dan cukup kaget menyadari bahwa anak muda jaman sekarang lebih melek sastra dan pemilihan kata-kata dibanding anak-anak muda di jaman saya. Ya saya harap ini bukan cuma karena tuntutan caption di instagram ya.

Tapi setelah saya telaah lagi, ah kok ya pemakaian sastranya untuk hal-hal receh yang remeh temeh gitu lho. Lebih kayak, ah apaan sih, seperti kayak menurunkan derajat bahasa itu sendiri deh kalau dipakai untuk hal yang seperti itu. Ngerti maksudnya nggak? Ya mungkin nggak ngerti ya karena saya juga bingung bagaimana menjelaskannya. Silakan tebak sendiri lah hahaha.

Sekarang, sudah sekitar 5-6 tahun belakangan, saya jadi super picky dan super kritis sama buku yang saya baca. Iya, dulu saya baca apa pun. Tapi hal itu bikin saya jadi paham mana yang berkualitas dan mana yang tidak. Mana yang layak dan mana yang tidak. Mana yang hidden gem dan mana yang cuma bersepuh emas padahal cuma batu biasa. Kalau istilah baratnya mah, “Know the box, then break out of them”. Alias kenalin dulu secara keseluruhan baru bisa kasih aksi.

Saya memang sudah nggak in-touch lagi dengan dunia tulis menulis sih (kecuali penulisan konten yang menurut saya derajatnya jauh di bawahnya karena berkaitan dengan marketing, bukan dengan sastra murni), tapi saya suka pusing kepala lihat kualitas buku lokal di toko sekarang ini.

Contohnya saja, begini lho, menurut saya, untuk jadi seorang penulis yang baik itu bukan cuma butuh plot atau alur cerita. Penulis yang baik itu harus mampu membuat karakterisasi yang kuat dan bagus. Maksudnya bukan yang ‘kuat’ seperti Thor atau yang ‘bagus’ kayak muka cowok korea. Tapi yang real, detail, punya emosi yang nyata, semua sense-nya digali dengan dalam, diungkapkan keadaan psikis dan pemikirannya, punya ciri khas, ada personal developmentnya. Bukan sekadar karakter stereotip yang maha sempurna bisa ini-itu tapi lempeng kayak robot.

Kemudian penulis yang baik harus dapat membuat setting yang se-real mungkin. Karena di sanalah tempat karakter-karakternya hidup. Kalau dunianya dunia buatan, dia harus bayangkan bahwa dunia itu betul-betul ada. Pikirkan sampai ke detail terkecilnya kalau bisa sampai ke suhu, jenis tanah, warna langit, semuanya! Kalau pakai dunia nyata maka RISET! Google map punya fitur google street di mana kita bisa ‘berjalan-jalan’ di dunia maya, manfaatkan hal itu untuk memindahkan isi google map ke tulisan, senyata mungkin.

Itu baru dari dua aspek ya, karakterisasi dan worldbuilding. Masih banyak unsur lainnya.

Dan lagi, saya muak sekali membaca resensi buku yang bertebaran sekarang ini (udah dari dulu sih sebenarnya). Begini mas mba kebanyakan, yang kamu tulis itu bukan RESENSI tapi RANGKUMAN PLOT. Setelah saya jabarkan beberapa poin di atas, harusnya tahu kan kalau karya baik itu bukan cuma dibangun dari plot saja. Kamu harus bisa menilai secara objektif, karakterisasinya bagaimana ya, gaya bahasa sudah tepat belum ya, latarnya bisa kebayang nggak ya, kecepatan alurnya sudah pas atau belum ya, unsur ekstrinsiknya sudah benar belum ya, cara pembukaan dan penutupnya cukup impactful nggak ya, cara penulisannya konsisten dan jelas nggak ya, daaaaaaaan lain-lain.

Jadi, tolonglah, saya muak sekali baca review-review buku yang cuma bicara “Overall saya suka sekali dengan buku ini karena endingnya bla bla bla bla…” Aduh please. Pantesan kualitas buku lokal gitu-gitu aja, lha wong mindset pembacanya kayak begini. Iya plot itu memang sangat penting, tapi itu saja belum cukup dipakai jadi dasar apakah sebuah cerita bagus atau tidak dan penulis itu bagus atau tidak. Hargailah penulis lain yang betul-betul melakukan riset segala rupa untuk memikirkan semua detail, unsur intrinsik dan ekstrinsik tulisannya.

Long story short, memang post saya ini lebih bertujuan untuk menyombongkan diri dan nyinyirin pembaca dan reviewer aja sih HAHAHAHAHA. Tapi di tengah kesombongan saya yang biasanya ini, semoga dapat menjadi masukan ya.

Jadi kembali ke masalah baca buku. Tahun lalu sebenarnya adalah semacam kebangkitan buat saya karena di tahun-tahun sebelumnya jumlah buku yang saya baca sangat minim. Keasyikan hidup di dunia nyata dan terjun di bidang minat yang lain sepertinya (#HalahAlasan). Mungkin start dari tahun ini saya perlu baca buku lebih banyak lagi. Atau mungkin setelah ini saya bikin summary buku-buku yang saya baca di tahun 2018 lengkap dengan short review-nya. Ya memang agak telat sih but better than never, right?

Bahasa · My Chaotic Philosophy · Uncategorized

365 Hari yang Penuh Pelajaran

IMG-20190101-WA0003

Di hari ini setahun yang lalu, saya pernah menulis bahwa tahun 2016 adalah tahun yang paling berat yang pernah saya alami. Tapi siapa tahu justru hari itu justru adalah awal dari tahun yang lebih berat yang bakal saya lalui?

Tahun 2018 itu, saya kehilangan banyak sekali hal dalam berbagai macam bentuk:

Saya sempat kehilangan kesehatan. Saya pikir saya akan mati ketika saya dilarikan ke rumah sakit khusus dan selama dua minggu lamanya tinggal sendirian di ruang isolasi, menghadapi jarum suntik, penanganan medis, dan obat-obatan yang tidak ada habisnya.

Saya kehilangan banyak orang. Baik sengaja atau tidak, baik yang saya inginkan atau tidak, baik yang sebenarnya berharga atau tidak. Yang paling menyakitkan adalah ketika Tuhan mengambil kembali Bibi saya, yang sudah seperti Ibu kedua saya, yang tanpa dia, saya tidak akan mampu menjadi saya yang sekarang. Kalau kamu patah hati cuma karena putus sama pacarmu, itu bukan apa-apa, bahkan belum ada seperempatnya. Kehilangan Ibu kedua saya bikin saya hancur lebur, kandas tak bersisa.

Saya kehilangan ekspektasi, hampir seluruh harga diri, dan banyak hal yang sebelumnya saya banggakan. Rasanya seperti bertubi-tubi dihadapkan pada kenyataan bahwa saya bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa apa-apa. Satu demi satu baju zirah yang selama ini saya pertahankan seperti dilucuti begitu saja.

Dan itu belum semuanya, nggak sanggup rasanya saya menguraikan semuanya, terlalu memalukan dan menyakitkan.

Tahun 2018 itu, saya masih 24 tahun tapi sudah melalui quarter-life crisis duluan bahkan sebelum menginjak tepat usia 25. Dan ternyata benar seperti yang orang lain bilang, quarter-life crisis itu menyakitkan. Saya dihantui perasaan tidak berharga, kehilangan arah, kehilangan semangat hidup, dan kehilangan keyakinan atas hampir segala hal. Saya tetap tidak suicidal, tapi saat itu saya merasa kalau Tuhan pingin ambil nyawa saya, ya sudah lah ambil saja. Toh saya adalah pengemudi kendaraan, jadi gampang saja cari caranya di jalan raya.

Tahun 2018 itu, pertikaian saya bukan hanya dengan nasib dan sesama manusia, tapi juga dengan Sang Pencipta sendiri. Saya sampai nggak bisa lagi hitung berapa kali saya mengamuk, meradang, menangis meraung-raung, dan meneriaki Tuhan bahwa saya membenci-Nya. Bahwa saya merasa Dia mengkhianati saya, mempermainkan saya sesuka hati-Nya. Dan saya nggak bisa hitung lagi berapa kali saya ‘memboikot’ Tuhan dengan cara berhenti sembahyang lima waktu dengan sengaja, selama 1-2 minggu, beberapa kali dalam tahun itu.

Tahun 2018, saya beberapa kali memutuskan untuk benar-benar membuat janji temu dengan psikolog atau psikiater atau apalah namanya. Serangan anxiety saya luar biasa parah, tidak kenal waktu dan tempat, dan ketika anxiety itu mulai kelewat batas, gejalanya mulai melipir jadi depresi, di mana di saat-saat depresif itu saya mulai berdelusi aneh-aneh. Dan kecuali di blog ini, saya tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun. Membuka diri tentang kondisi mental saya rasanya sulit, saya takut dengan penilaian orang atas diri saya dan terutama, ketika dibicarakan secara langsung maka akan terdengar makin nyata dan makin mengerikan, saya takut menghadapi itu.

Tapi dari semua ujian demi ujian itu, lambat laun saya mulai paham cara kerja takdir dan Tuhan.

Tuhan itu, semakin kamu ngotot minta seseorang atau sesuatu, semakin Dia tidak berikan. Cuma Dia yang tahu baik atau buruknya suatu hal, jadi kalau kamu minta maksa dan keras kepala, kok kesannya kamu sok sekali ya? Kan belum tentu yang kamu mau itu baik menurut Dia. Kalau kebetulan yang kamu inginkan itu buruk dan Dia terpaksa kabulkan karena kamu mintanya maksa, efeknya akan jadi bumerang untuk hidup kamu. Karena itu kalau mau minta, jangan maksa minta ‘yang ini’ atau ‘yang itu’ tapi gantilah kata-katanya dengn ‘apapun yang terbaik menurut-Mu’ dan serahkan saja sisanya.

Cintanya Tuhan itu unik. Eksentrik. Bisa sangat lembut dan indah sampai mabuk kepayang, tapi bisa juga sangat keras, sangat kasar. Though love, istilahnya. Karena Dia selalu mau kamu jadi pribadi yang lebih baik dan Dia tahu bagaimana caranya. Dan caranya seringkali tidak gampang karena tentu saja besi tidak mungkin bisa jadi pedang kalau tidak ditempa dan dibakar sampai berpijar dulu. Masuk akal, kan?

Hukum equilibrium itu berlaku. Tuhan nggak pernah mau kasih sesuatu secara gratis, selalu ada harga yang harus dibayar. Namun sistem jual belinya Tuhan nggak linear dan jarang sekali dalam bentuk atau bahkan waktu yang bersamaan. Jual-beli antara kita dengan Tuhan itu caranya halusssss sekali, bahkan seringkali disamarkan dengan ilusi-ilusi dan kata-kata surgawi. Tapi tetap aja namanya dagang. Kasih sesuatu untuk dapat sesuatu, atau melakukan sesuatu untuk diganjar dengan sesuatu. Dan ini tidak mengenal batas antara hidup dan mati. Kamu tetap harus membayar apa yang Dia kasih dan Dia juga akan membayar apa yang kamu kasih, baik di dunia ini atau akhirat sana. Tapi jangan khawatir, transaksi dengan Tuhan ini legal kok, dan tentu saja adil seadil-adilnya transaksi jual-beli. Malah bisa dibilang justru kita diciptakan oleh-Nya ya dengan tujuan melakukan transaksi ini. Kebayang kan, ternyata Tuhan itu hobinya bisnis ya. Bisnis kelas tinggi malah.

Saya nggak serta-merta mengerti ini. Setelah berbulan-bulan berperang baik dengan Dia mau pun ujian-ujian-Nya, tepatnya memasuki Desember saya mulai lelah, nyerah, dan mulai mengakui kalau saya kalah. Setelah itu saya mulai ikhlas dan menghadapi apa-apa dengan “Terserah mau-Nya aja lah, saya ngikut aja” karena terlalu capek berdebat. Setelah saya sampai di tahap itu, barulah ketemu titik terang dan barulah Dia buka pintu selebar-lebarnya. Saya lalu akhirnya paham apa-apa saja yang sudah Dia ajarkan kepada saya. Ketika sedang mengalaminya, yang akan kelihatan hanya awan mendung badai halilintar saja, tapi kalau sudah selesai dan melihat ke belakang rupanya banyak sekali pelajarannya.

Apa yang saya miliki ternyata bukannya hilang, tapi ditukar dengan banyak hal yang berharga. Ternyata sejak dulu Tuhan selalu cinta sama saya, dan saya pun semakin jatuh cinta dengan Dia. Saat ini bahkan saya bisa bilang bahwa saya dan Dia punya hubungan yang sangat dekat. Kami berdialog sepanjang waktu dan saya makin bisa mendengar-Nya dengan jelas di dalam hati dan kepala saya. Walau pun saya masih suka kelewat solat sih, ya kalau ini murni kesalahan saya dan harus segera saya perbaiki tanpa banyak alasan.

Tahun 2018 itu, luar biasa menyakitkan. Tapi berakhir dengan sangat indah dan saya bisa berevolusi menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Iya, memang seperti itu ternyata cara kerja-Nya.