Bahasa · My Writer Side

Book Review – Carrie by Stephen King

https://i0.wp.com/media.tumblr.com/24866e211383a7c4066da0205e9a329c/tumblr_inline_mtxkn3jgNP1qb7t48.jpg

Author: Stephen King
Translator: Gita Yuliani K.
Publisher: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013
Pages: 256 Pages
Rating: ★★ of ★★★★★

Prologue

Paket buku ini baru saya buka tadi pagi, sepulang saya dari luar kota dan langsung saya baca saat itu juga, mengingat nggak ada lagi hal menarik lain yang berniat saya kerjakan hari ini. Surprisingly, ternyata buku ini habis hanya dalam setengah hari saja. Prestasi yang cukup memuaskan sebetulnya, mengingat kecepatan baca saya yang sebetulnya luar biasa tapi kemampuan baca yang berkurang karena lama memanjakan diri dengan enggak baca buku sama sekali (saya biasa nyalahin platform-platform digital untuk ini, padahal sih sebenernya saya aja yang males ). Setidaknya salah satu resolusi saya tahun ini (Re: Read more books) lumayan berhasil di hari pertama 2017.

Back to topic.

Sudah lama saya mengincar buku ini. Well, sebetulnya bahkan sudah lama saya mengincar karya-karya Stephen King ketika tahu beliau sering disanding-sandingkan dengan Edgar Allan Poe dan Neil Gaiman sebagai The King of Horror and Thriller Stories.

Walau mengaku sebagai thriller novel freak, lumayan malu juga mengakui saya belum pernah baca satu pun karya The King yang satu ini. Pernah saya coba baca Rose Madder, namun menyerah di tengah jalan. Entahlah, mungkin ceritanya terlalu berat dan membosankan bagi saya yang masih berusia tiga belas tahun saat itu.

Maka, pikir saya, Carrie akan jadi pembuka yang sempurna mengingat bahwa karya ini termasuk satu karya King yang paling populer sepanjang masa.

 

Main Story

Singkatnya, Carrie bercerita tentang seorang gadis SMA yang pendiam dan sering menjadi korban bully di sekolahnya. Carrie memiliki ibu penganut agama kristen orthodox cukup ekstrim yang sangat berpengaruh pada perkembangan psikisnya. Ia memiliki kemampuan telekinesis yang kerap muncul saat dirinya berada dalam posisi tertekan atau tersudut. Kemampuan ini rupanya menjadi sumber mimpi buruk kota Chamberlain ketika penindasan yang dilakukan teman-temannya di acara Pesta Dansa Sekolah semakin kelewat batas.

It won’t be long, I promise.

Alasan saya me-review buku ini di sini bukan karena buku ini bagus atau gimana. Intinya saya hanya ingin menghujat penerjemahnya saja kok. Bahkan di kalimat pertama di bagian pertamanya saja, I’m so done with this book.

Saya pernah bilang di review buku terakhir bahwa terjemahan The Wizard of Oz itu jeleknya kayak ditranslet pakai gugel translet berbasis jaman Soekarno-Hatta, nah ternyata ada yang lebih parah dari itu.

Carrie, karya termashyur dari Stephen King; salah satu yang membuat topik telekinesis menjadi populer di masyarakat tahun itu; karya pertama King yang diangkat ke layar kaca di tahun 1976; karya yang saking populernya bahkan dibuat versi remake-nya dengan dibintangin Chloe Moretz di tahun 2013; namun begitu saya baca, embel-embel luar biasa itu hilang semua.

Saya nggak tau apa yang sebenarnya dipikirkan si penerjemah. Apakah segitu terjepitnya beliau dengan deadline? Apa beliau pernah baca kembali hasil terjemahannya? Dan kalau iya, apakah beliau menyadari kebusukan dalam hasil terjemahannya ini? Pun saya nggak paham apa yang dipikirkan penerbit besar sekelas Gramedia Pustaka Utama, aduh, tolonglah, kalau belum punya pengalaman dan belum bisa menerjemah dengan bagus, setidaknya janganlah dikasih buku populer begini. Karena membaca ini, alih-alih menikmati Stephen King, yang ada saya cuma misuh-misuh berusaha menerjemahkan sendiri padanan kata yang sangat non-literal ini.

Kalau saya editornya, mungkin sudah saya koyak habis naskah terjemahan ini tepat di depan wajah sang penerjemah dan saya minta ganti penerjemah lain. Saya curiga ini benar-benar diterjemahkan pakai gugel translet dan sang penerjemah cuma makan gaji buta.

Satu lagi yang saya bingungkan, sepertinya cara penulisannya agak aneh. Ada banyak kalimat dalam kurung di sepanjang cerita, yang saya kurang paham apa relasinya. Jika kata-kata itu adalah monolog dari batin tokoh, kenapa ditandai dengan kurung di paragraf terpisah dan bukannya dimiringkan saja? Lalu kalau benar itu memang monolog batin tokoh, kenapa saya merasa tidak ada hubungannya dengan konteks paragraf secara keseluruhan? Ah, sepertinya saya harus baca buku aslinya saja agar jelas.

Tapi dibalik kesebalan saya terhadap sang penerjemah, toh akhirnya buku ini berhasil saya tamatkan juga. Mungkin tertolong dengan genrenya atau plotnya sendiri, mengingat saya lumayan freak kalau urusan psychological thriller.

 

Epilogue

Pada akhirnya, ternyata yang saya lakukan bukan mereview unsur intrinsik buku ini secara keseluruhan seperti yang biasa saya lakukan, melainkan benar-benar cuma menghujat penerjemahnya saja.

Soal rating, saya rasa dua bintang sudah cukup, keduanya untuk aspek psikologis Carrie dan cara penjabaran dengan artikel berkesinambungan di sepanjang cerita.

Time to go for another reads 🙂