Sudah berapa belas jam ya aku lewatkan untuk menulis di sini, lalu setelah jadi, aku membaca lagi dari awal dan berpikir, “Supaya apa sih sebenarnya aku menulis ini?” lalu aku batalkan niat dan akhirnya aku hapus semuanya. Lalu aku kembali lagi ke kasurku, menyalakan AC kamar sedingin mungkin, menyelimuti tubuhku dari atas sampai bawah, lalu menangis sendirian. Iya, begitu selalu.
Psikologku bilang dengan cukup keras “Semua pemikiranmu, masalahmu, sudah tidak ada yang boleh kamu pendam lagi ya. Ceritakan, tumpahkan semuanya ke media yang menurutmu paling kamu percayai.”
Yang aku percayai, hmmm….. Gimana ya, aku cenderung sangat menutup diri, bahkan terhadap orang terdekatku sendiri. Inner circle-ku kubuat sekecil mungkin dan setertutup mungkin, jadi buatku, sulit sekali bercerita ke siapa-siapa. Jadi yang teman-teman dekatku tahu, itu pun sebenarnya bukan hal-hal mayor. Ya bayangkan, bahkan buatku sangat sulit menganggap seseorang itu sahabat, walaupun kami sudah berteman sangat sangat dekat, dalam waktu yang lama. Apalagi kalau menceritakan hal-hal besar yang menurutku sangat pribadi.
Alasannya kenapa ya, aku sendiri juga kurang mengerti sih, atau mungkin sebenarnya berusaha pura-pura tidak mengerti. Tapi dua yang tercetak jelas di kepalaku sejak kecil:
- Judgement sesama manusia itu menakutkan.
- Tidak ada manusia yang bisa dipercaya.
Dan aku memilih untuk tidak menuliskannya karena aku tidak bersedia hal itu ada di jaringan internet, di mana semua hal dapat menjadi abadi. Itu, dan banyak hal lainnya.
Tapi psikologku menjawab hal itu dengan teori Freud tentang ‘sampah’ di alam bawah sadar. Ini ilustrasi yang dia tunjukkan padaku:
Dia bilang, gejala kecemasan dan serangan-serangan panikku kemungkinan besar disebabkan karena aku terlalu banyak mendorong semuanya ke alam bawah sadar, terlalu banyak trauma yang aku kubur dalam-dalam dan hanya aku yang tahu sejak kapan serta sudah sebanyak apa sampahnya.
Hanya aku yang tahu? Lho, gimana bisa? Aku sendiri malah nggak tau. Tukasku dalam hati saat itu, karena di pikiranku saat itu betul-betul kosong, aku nggak bisa ingat apa-apa.
Tapi kemarin aku sempat bertemu teman dekatku, dekaaaat sekali. Awalnya karena aku merasa emosi dan kestabilan mentalku kacau sekali. Makanya aku sering sekali ajak teman-teman terdekatku hangout atau bepergian dadakan karena aku takut kalau aku membiarkan diriku sendirian, pikiran-pikiran toksikku nggak mau pergi, bersahut-sahutan ribut sekali. Sungguh, siapa sih yang bisa tahan?
Kami bicara banyaaak sekali hal, sampai tidak ada hentinya ganti-gantian bicara. Lalu tertawa-tawa banyak sekali. Moodku pun jadi enak lagi. Lalu semakin lama, obrolan kami jadi semakin personal, dan perlahan sambil bicara, aku jadi ingat banyak sekali hal. Ingatan yang ternyata dulu aku sembunyikan di sebuah koper yang kemudian aku rantai, aku gembok, lalu aku buang kuncinya dan aku kubur kopernya dalam-dalam di alam bawah sadarku, entah mengapa jadi terbuka lagi. Aneh kan, padahal kuncinya sudah aku buang?
Dan sembari aku bercerita, pemikiranku mengubah memori-memori itu menjadi plot yang runtut, sehingga aku lebih mudah menyambungkannya dengan hal lain. Aku bercerita sambil menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi, lalu marah sampai pukul-pukul meja, lalu muka datar, hahaha.
Apa itu membuat aku lega? Kata psikologku, bercerita bisa bikin hati jadi lebih lega. Anehnya menurutku malah tidak. Sebaliknya, malah aku semakin kacau. Ibaratnya kau sudah mengubur memori menyakitkan di palung bawah laut supaya kau bisa senang-senang main ombak di pantai, eh ternyata memorinya merembes ke permukaan laut sampai pantainya tercemar.
Tapi beberapa hal yang aku syukuri, di sepanjang pulang aku cuma bisa bergumam, “Oh jadi itu penyebab dari semua kekacauan ini, ya.” Menghadapi trauma yang susah payah dibenamkan itu luar biasa menyakitkan. Tapi setidaknya, sekarang aku sudah tau kenapa.
Dan satu lagi yang aku tak hentinya syukuri, ternyata aku tidak sendirian. Aku punya teman-teman yang sangat baik, yang bersedia jadi cheerleaderku secara sukarela, cuma aku saja yang seringkali lupa dan menganggap mereka tidak ada.
Iya sih, dengan bercerita ini di sini, aku sadar pandangan orang-orang bisa saja berubah terhadapku. Tapi tidak apa-apa kok, aku memang tidak berusaha menampilkan citra sempurna. Kita semua memang hanya manusia biasa, kan?
We’re not mad here. We’re just…insanely struggling.
To eat, to love, to progress, to breath, to life