Bahasa · My Chaotic Philosophy

Tentang ‘Sampah’ di Alam Bawah Sadar

Sudah berapa belas jam ya aku lewatkan untuk menulis di sini, lalu setelah jadi, aku membaca lagi dari awal dan berpikir, “Supaya apa sih sebenarnya aku menulis ini?” lalu aku batalkan niat dan akhirnya aku hapus semuanya. Lalu aku kembali lagi ke kasurku, menyalakan AC kamar sedingin mungkin, menyelimuti tubuhku dari atas sampai bawah, lalu menangis sendirian. Iya, begitu selalu.

Psikologku bilang dengan cukup keras “Semua pemikiranmu, masalahmu, sudah tidak ada yang boleh kamu pendam lagi ya. Ceritakan, tumpahkan semuanya ke media yang menurutmu paling kamu percayai.”

Yang aku percayai, hmmm….. Gimana ya, aku cenderung sangat menutup diri, bahkan terhadap orang terdekatku sendiri. Inner circle-ku kubuat sekecil mungkin dan setertutup mungkin, jadi buatku, sulit sekali bercerita ke siapa-siapa. Jadi yang teman-teman dekatku tahu, itu pun sebenarnya bukan hal-hal mayor. Ya bayangkan, bahkan buatku sangat sulit menganggap seseorang itu sahabat, walaupun kami sudah berteman sangat sangat dekat, dalam waktu yang lama. Apalagi kalau menceritakan hal-hal besar yang menurutku sangat pribadi.

Alasannya kenapa ya, aku sendiri juga kurang mengerti sih, atau mungkin sebenarnya berusaha pura-pura tidak mengerti. Tapi dua yang tercetak jelas di kepalaku sejak kecil:

  1. Judgement sesama manusia itu menakutkan.
  2. Tidak ada manusia yang bisa dipercaya.

Dan aku memilih untuk tidak menuliskannya karena aku tidak bersedia hal itu ada di jaringan internet, di mana semua hal dapat menjadi abadi. Itu, dan banyak hal lainnya.

Tapi psikologku menjawab hal itu dengan teori Freud tentang ‘sampah’ di alam bawah sadar. Ini ilustrasi yang dia tunjukkan padaku:

Dia bilang, gejala kecemasan dan serangan-serangan panikku kemungkinan besar disebabkan karena aku terlalu banyak mendorong semuanya ke alam bawah sadar, terlalu banyak trauma yang aku kubur dalam-dalam dan hanya aku yang tahu sejak kapan serta sudah sebanyak apa sampahnya.

Hanya aku yang tahu? Lho, gimana bisa? Aku sendiri malah nggak tau. Tukasku dalam hati saat itu, karena di pikiranku saat itu betul-betul kosong, aku nggak bisa ingat apa-apa.

Tapi kemarin aku sempat bertemu teman dekatku, dekaaaat sekali. Awalnya karena aku merasa emosi dan kestabilan mentalku kacau sekali. Makanya aku sering sekali ajak teman-teman terdekatku hangout atau bepergian dadakan karena aku takut kalau aku membiarkan diriku sendirian, pikiran-pikiran toksikku nggak mau pergi, bersahut-sahutan ribut sekali. Sungguh, siapa sih yang bisa tahan?

Kami bicara banyaaak sekali hal, sampai tidak ada hentinya ganti-gantian bicara. Lalu tertawa-tawa banyak sekali. Moodku pun jadi enak lagi. Lalu semakin lama, obrolan kami jadi semakin personal, dan perlahan sambil bicara, aku jadi ingat banyak sekali hal. Ingatan yang ternyata dulu aku sembunyikan di sebuah koper yang kemudian aku rantai, aku gembok, lalu aku buang kuncinya dan aku kubur kopernya dalam-dalam di alam bawah sadarku, entah mengapa jadi terbuka lagi. Aneh kan, padahal kuncinya sudah aku buang?

Dan sembari aku bercerita, pemikiranku mengubah memori-memori itu menjadi plot yang runtut, sehingga aku lebih mudah menyambungkannya dengan hal lain. Aku bercerita sambil menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi, lalu marah sampai pukul-pukul meja, lalu muka datar, hahaha.

Apa itu membuat aku lega? Kata psikologku, bercerita bisa bikin hati jadi lebih lega. Anehnya menurutku malah tidak. Sebaliknya, malah aku semakin kacau. Ibaratnya kau sudah mengubur memori menyakitkan di palung bawah laut supaya kau bisa senang-senang main ombak di pantai, eh ternyata memorinya merembes ke permukaan laut sampai pantainya tercemar.

Tapi beberapa hal yang aku syukuri, di sepanjang pulang aku cuma bisa bergumam, “Oh jadi itu penyebab dari semua kekacauan ini, ya.” Menghadapi trauma yang susah payah dibenamkan itu luar biasa menyakitkan. Tapi setidaknya, sekarang aku sudah tau kenapa.

Dan satu lagi yang aku tak hentinya syukuri, ternyata aku tidak sendirian. Aku punya teman-teman yang sangat baik, yang bersedia jadi cheerleaderku secara sukarela, cuma aku saja yang seringkali lupa dan menganggap mereka tidak ada.

Iya sih, dengan bercerita ini di sini, aku sadar pandangan orang-orang bisa saja berubah terhadapku. Tapi tidak apa-apa kok, aku memang tidak berusaha menampilkan citra sempurna. Kita semua memang hanya manusia biasa, kan?

We’re not mad here. We’re just…insanely struggling.

To eat, to love, to progress, to breath, to life

English · My Chaotic Philosophy

Nothing’s Ever For Sure, John

“We’ve agreed to live together, right?”
“Which one do you think we should sign on first? House or car?”
“I want to legally bring you out of your house to live together with me.”
“I love you and I know you know it. And I will saying that again and again throughout our life.”
“I want us to be each other’s last, would you mind?”

The question of “Will you marry me?” could come in such different forms, but none of them easy to be answered.

I was in the phase where I watched too many Disney princesses movie to think that marriage is such a beautiful way to end a story, or to close the deal with someone that we think is the love of our life. But no, we are not in a fairytale, and we’re not princesses who saved by a handsome prince riding white horse. I witnessed things that can go wrong in a marriage and in a relationship in general. Either I learnt through mine, or my parents’s, or anyone else.

Therefore I’m never be an opened book. I’m scared that people will hurt me. I’m scared to appear vulnerable, I’m scared to be hurt. I’m scared of rejections. I’m scared to be broken-hearted. Hence I close myself and build a high walls around me so no one can pass.

So when he comes to me, bringing love and offering me a vow to share life together, it’s terrifies me to the point that it feels unbearable.

How can I be sure that you are the right one?
How can I be sure you won’t hurt me someday?
How can I be sure that thing will turns out right?
How can I sure that I’m not making mistakes?
How can we be sure, of everything?

Then there it is, John and Charles, the characters from beautiful movie called A Beautiful Mind, come to my head:

A.Beautiful.Mind.2001.1080p.BrRip.x264.YIFY.mkv-muxeddddfdf.mp4_003079743

A.Beautiful.Mind.2001.1080p.BrRip.x264.YIFY.mkv-muxeddddfdf.mp4_003084372

Maybe there is no right or wrong in deciding the path of our life. Because once we choose something, the universe around us will work around whatever that choice is. There will be no judgement, only adjustment.

If outer world terrifies you, then you will never be sure when someone ask you to marry him. No matter who and when. Because it’s not them, it’s you.

But if the stars had aligned, whatever the decision, it will happens anyway. Even as I’m typing this, I still dont know how to answer that ‘4-words big-question’.

Because, like Charles said, nothing’s ever for sure.

English · My Chaotic Philosophy

#ABlogADay – #Soliloquy of a Noble Mission

“He’s not gonna listen to me, at all.”

“Have you tried everything? To reach him?”

“I tried. It just wont work.”

“Oh no…”

“But I know what probably will.”

“What?”

“You.”

“Excuse me?”

“He will listen to you.”

“Wha–no! He wont.”

“Maybe he wont, maybe he will. But he’s head over heels for you, madly in love. Hence he may wont listen to me but he will listen to you, there’s a probability for that.”

“I–I cant. I cant do it”

“You can.”

“And You wish me to come back and talk to him like we used to? I cant. Too hard. Too miserable.”

“I want him, but this time, only you can do it. We’ve gone through a lot, everything not always easy and you’re not always the obedient one. But we have a strong bond together, and by that, I know you can do it.”

“But I don’t know how.”

“You will. Believe me somehow you will. That’s why I choose you. Because when the right time comes, only you will know how.”

“How if I failed?”

“Then it’s okay. I command you to try to help me, not commanding you an obligation to thrive it. In the end, it’s him alone who can choose to come back or gone, forever. So by the time he choose whatever choice, then we’ll settle it down. Whatever the result, I’ll thank you and as an exchange, giving what you’ve wishing for all this time.”

“What is that?”

“You know what.”

“But what if I’m not only failed, but slipped to another mistakes AGAIN ? Another toxicity AGAIN? I fought so hard to be who I am now. To be healed.”

“Then I will save you before it happens. Don’t worry, no one can harm you. I always protect you all the time. You are safe.”

.

(A long pause)

.

“Seems like I have no other choice then…”

“Then we’re on deal.”

English · My Chaotic Philosophy

I want to go home.

As if I’m renting parents here to raise me. As if I’m renting place here to be alive. As if my own name, body, face, gifts, abilities, are all not mine.

As if before anything started and fell into it’s place, I’m begging and begging and begging to let Him allowed me to discover the life I’m now living.

No wonder I never found where and who I belong. I couldnt ever fit in. My mind and heart always wander and wander and wander. But never find it’s place.

This is not my place. I want to go home.

#TheMorningTales · English · My Chaotic Philosophy

#LearnToday: God Answers if You Asks

Allah knows how denial person I am. Since I grown up realizing that I’m actually have a sensitive heart and learnt that the more sensitive person you are, the easier other people to hurt you, I keep it for myself. Too many people hurt me, betray me, and stab me in the back long long ago, and I don’t want it anymore. I don’t want to get hurt anymore.

Hence now I grown up hiding my fragility, showcasing my insensitivity more, and permanently wearing this I’m-a-warrior-I’m-strong-I’m-okay-and-I-don’t-need-your-help traits wherever I go and whatever happens to me. I build a wall so high around me so no one can pass. And whether I realized it or not, this applied to my relationship with Allah too.

But day by day He force me to admit it. He makes me realized that it’s okay to have a breakdown and be open about it. Hence I doing it, only in front of Him though. Only when I cried and pray to Him. And believe it or not, when I’m opening up to Him, admitting all my vulnerabilities, not pretending nor hiding anything, I can hear a voice inside my head answering:

“Understood. Your apologies and requests accepted. Thank you for your honesty.”

Then within minutes, even second, I feel better. As if my wounds heals really fast and the demons in my head is all fading away.

That’s when I realize, from human you can hide anything all you want. But God already seeing all of you.  Every microparts that you trying to hide, so it’s okay to tell Him anything, even things you tried to hide from Him because you knows He hates it.

He might hate it, but He never hates you. Hence if you ask, He will answer.

Bahasa · My Chaotic Philosophy · Uncategorized

365 Hari yang Penuh Pelajaran

IMG-20190101-WA0003

Di hari ini setahun yang lalu, saya pernah menulis bahwa tahun 2016 adalah tahun yang paling berat yang pernah saya alami. Tapi siapa tahu justru hari itu justru adalah awal dari tahun yang lebih berat yang bakal saya lalui?

Tahun 2018 itu, saya kehilangan banyak sekali hal dalam berbagai macam bentuk:

Saya sempat kehilangan kesehatan. Saya pikir saya akan mati ketika saya dilarikan ke rumah sakit khusus dan selama dua minggu lamanya tinggal sendirian di ruang isolasi, menghadapi jarum suntik, penanganan medis, dan obat-obatan yang tidak ada habisnya.

Saya kehilangan banyak orang. Baik sengaja atau tidak, baik yang saya inginkan atau tidak, baik yang sebenarnya berharga atau tidak. Yang paling menyakitkan adalah ketika Tuhan mengambil kembali Bibi saya, yang sudah seperti Ibu kedua saya, yang tanpa dia, saya tidak akan mampu menjadi saya yang sekarang. Kalau kamu patah hati cuma karena putus sama pacarmu, itu bukan apa-apa, bahkan belum ada seperempatnya. Kehilangan Ibu kedua saya bikin saya hancur lebur, kandas tak bersisa.

Saya kehilangan ekspektasi, hampir seluruh harga diri, dan banyak hal yang sebelumnya saya banggakan. Rasanya seperti bertubi-tubi dihadapkan pada kenyataan bahwa saya bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa apa-apa. Satu demi satu baju zirah yang selama ini saya pertahankan seperti dilucuti begitu saja.

Dan itu belum semuanya, nggak sanggup rasanya saya menguraikan semuanya, terlalu memalukan dan menyakitkan.

Tahun 2018 itu, saya masih 24 tahun tapi sudah melalui quarter-life crisis duluan bahkan sebelum menginjak tepat usia 25. Dan ternyata benar seperti yang orang lain bilang, quarter-life crisis itu menyakitkan. Saya dihantui perasaan tidak berharga, kehilangan arah, kehilangan semangat hidup, dan kehilangan keyakinan atas hampir segala hal. Saya tetap tidak suicidal, tapi saat itu saya merasa kalau Tuhan pingin ambil nyawa saya, ya sudah lah ambil saja. Toh saya adalah pengemudi kendaraan, jadi gampang saja cari caranya di jalan raya.

Tahun 2018 itu, pertikaian saya bukan hanya dengan nasib dan sesama manusia, tapi juga dengan Sang Pencipta sendiri. Saya sampai nggak bisa lagi hitung berapa kali saya mengamuk, meradang, menangis meraung-raung, dan meneriaki Tuhan bahwa saya membenci-Nya. Bahwa saya merasa Dia mengkhianati saya, mempermainkan saya sesuka hati-Nya. Dan saya nggak bisa hitung lagi berapa kali saya ‘memboikot’ Tuhan dengan cara berhenti sembahyang lima waktu dengan sengaja, selama 1-2 minggu, beberapa kali dalam tahun itu.

Tahun 2018, saya beberapa kali memutuskan untuk benar-benar membuat janji temu dengan psikolog atau psikiater atau apalah namanya. Serangan anxiety saya luar biasa parah, tidak kenal waktu dan tempat, dan ketika anxiety itu mulai kelewat batas, gejalanya mulai melipir jadi depresi, di mana di saat-saat depresif itu saya mulai berdelusi aneh-aneh. Dan kecuali di blog ini, saya tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun. Membuka diri tentang kondisi mental saya rasanya sulit, saya takut dengan penilaian orang atas diri saya dan terutama, ketika dibicarakan secara langsung maka akan terdengar makin nyata dan makin mengerikan, saya takut menghadapi itu.

Tapi dari semua ujian demi ujian itu, lambat laun saya mulai paham cara kerja takdir dan Tuhan.

Tuhan itu, semakin kamu ngotot minta seseorang atau sesuatu, semakin Dia tidak berikan. Cuma Dia yang tahu baik atau buruknya suatu hal, jadi kalau kamu minta maksa dan keras kepala, kok kesannya kamu sok sekali ya? Kan belum tentu yang kamu mau itu baik menurut Dia. Kalau kebetulan yang kamu inginkan itu buruk dan Dia terpaksa kabulkan karena kamu mintanya maksa, efeknya akan jadi bumerang untuk hidup kamu. Karena itu kalau mau minta, jangan maksa minta ‘yang ini’ atau ‘yang itu’ tapi gantilah kata-katanya dengn ‘apapun yang terbaik menurut-Mu’ dan serahkan saja sisanya.

Cintanya Tuhan itu unik. Eksentrik. Bisa sangat lembut dan indah sampai mabuk kepayang, tapi bisa juga sangat keras, sangat kasar. Though love, istilahnya. Karena Dia selalu mau kamu jadi pribadi yang lebih baik dan Dia tahu bagaimana caranya. Dan caranya seringkali tidak gampang karena tentu saja besi tidak mungkin bisa jadi pedang kalau tidak ditempa dan dibakar sampai berpijar dulu. Masuk akal, kan?

Hukum equilibrium itu berlaku. Tuhan nggak pernah mau kasih sesuatu secara gratis, selalu ada harga yang harus dibayar. Namun sistem jual belinya Tuhan nggak linear dan jarang sekali dalam bentuk atau bahkan waktu yang bersamaan. Jual-beli antara kita dengan Tuhan itu caranya halusssss sekali, bahkan seringkali disamarkan dengan ilusi-ilusi dan kata-kata surgawi. Tapi tetap aja namanya dagang. Kasih sesuatu untuk dapat sesuatu, atau melakukan sesuatu untuk diganjar dengan sesuatu. Dan ini tidak mengenal batas antara hidup dan mati. Kamu tetap harus membayar apa yang Dia kasih dan Dia juga akan membayar apa yang kamu kasih, baik di dunia ini atau akhirat sana. Tapi jangan khawatir, transaksi dengan Tuhan ini legal kok, dan tentu saja adil seadil-adilnya transaksi jual-beli. Malah bisa dibilang justru kita diciptakan oleh-Nya ya dengan tujuan melakukan transaksi ini. Kebayang kan, ternyata Tuhan itu hobinya bisnis ya. Bisnis kelas tinggi malah.

Saya nggak serta-merta mengerti ini. Setelah berbulan-bulan berperang baik dengan Dia mau pun ujian-ujian-Nya, tepatnya memasuki Desember saya mulai lelah, nyerah, dan mulai mengakui kalau saya kalah. Setelah itu saya mulai ikhlas dan menghadapi apa-apa dengan “Terserah mau-Nya aja lah, saya ngikut aja” karena terlalu capek berdebat. Setelah saya sampai di tahap itu, barulah ketemu titik terang dan barulah Dia buka pintu selebar-lebarnya. Saya lalu akhirnya paham apa-apa saja yang sudah Dia ajarkan kepada saya. Ketika sedang mengalaminya, yang akan kelihatan hanya awan mendung badai halilintar saja, tapi kalau sudah selesai dan melihat ke belakang rupanya banyak sekali pelajarannya.

Apa yang saya miliki ternyata bukannya hilang, tapi ditukar dengan banyak hal yang berharga. Ternyata sejak dulu Tuhan selalu cinta sama saya, dan saya pun semakin jatuh cinta dengan Dia. Saat ini bahkan saya bisa bilang bahwa saya dan Dia punya hubungan yang sangat dekat. Kami berdialog sepanjang waktu dan saya makin bisa mendengar-Nya dengan jelas di dalam hati dan kepala saya. Walau pun saya masih suka kelewat solat sih, ya kalau ini murni kesalahan saya dan harus segera saya perbaiki tanpa banyak alasan.

Tahun 2018 itu, luar biasa menyakitkan. Tapi berakhir dengan sangat indah dan saya bisa berevolusi menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Iya, memang seperti itu ternyata cara kerja-Nya.

Bahasa · My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

A self-validation is a high level of self-love

Baru baca kata-kata seorang influencer yang berusaha menebarkan positif vibes dengan slogan “You are loved. You are wanted.”

Mungkin ini terdengar relevan buat saya beberapa minggu lalu but now not anymore. Instead sekarang menurut saya hal itu dapat melemahkan mental seseorang, terutama perempuan.

Naturally, what matter the most buat seorang perempuan adalah perasaan ingin diakui eksistensinya, dan dalam hal ini termasuk ingin merasa dicintai dan diinginkan juga. Afirmasi, approval, validasi, dalam berbagai bentuk.

Dalam hal romantic relationship misalnya, sering lihat chat pasangan which was meant to be private or to be sent to one particular person only, malah discreenshoot dan dishare kan? Atau parade yg mempertontonkan kemesraan, misalnya? Itu baru dari satu aspek. Masih banyak contoh di aspek lainnya kalau kamu kepoin komunitas feminisme seperti contohnya platform webmagazine Magdalene.co.

Hal-hal seperti itu kebanyakan dilakukan sama perempuan karena naturally perempuan merasa perlu menunjukkan bahwa mereka diinginkan. Validation of existence.

Tapi saya belajar bahwa, se-naturally naturally-nya hal itu, just dont. Just stop. Mencari pengakuan manusia lain itu melelahkan, karena secara nggak langsung kita akan menggantungkan kebahagiaan kita di tangan orang lain.

Kata-kata “You are loved. You are wanted.” itu nggak relevan karena manusia itu berubah setiap saat. Gimana kalo mereka who loves you and wants you, one day doesn’t love neither want you anymore? Habis sudah eksistensi kamu. Habis sudah kebahagiaan kamu.

Mending ganti aja pola pikir kamu dengan “No matter who does or doesnt want or love you, the most important thing is you loves yourself. Because you are great in your way.” Dengan begitu kamu akan meletakkan kebahagiaan kamu di kaki kamu sendiri dan secara otomatis kamu bakal jadi pribadi yg lebih kuat Nggak peduli siapa siapa cinta sama kamu atau enggak, yang penting KAMU cinta sama diri KAMU sendiri. Dan kamu yakin bahwa Tuhan juga cinta sama kamu. Then you’ll feel complete, whole, and stronger. Like, SUPER SUPER STRONG.

I was struggle with this for months even for year. Dealing with this validation-issues. And what? All i’ve got was depression, neverending anxiety, bumping into one person to another one. It was terrible experience, really.

And what heals me? The true acceptance of myself. The self-validation that I dont need anyone to say that they adore me, or want me, or love me, or trust me. I just need me do it all for myself.

So girls, please, love yourself first, trully, dearly, deeply. Caranya seperti apa? Cuma kamu yang tau karena setiap orang berbeda. So you’ll figure it out yourselves ❤️

English · My Chaotic Philosophy

I’m Getting Better at This

If this happens back in months ago, I might currently be broken or writing some melodrama words here. But this time, all I do is just smirk, laugh, and be like “Okay that was funny—NEXT!!”

F7406FD8-B818-40C7-B788-6F2D7EF74E32

As I realized that, wow wow, what was that? No anxiety? No mental breakdown? No menye-menye teary-cheesy feeling? No anger and hurt feeling at all? And it’s not even a denial! It’s a pure and true content and peaceful feeling! Hmmm, apparently I’m getting better at this, ha? Hehehe.

098450C9-A31D-49D2-970B-BA43FC848BF1

This is of course not happens overnight. Healing process is not easy at all. It’s a long journey of countless painful nights roasting myself, painfully striping the layers of my own feeling one by one, even the most darkest feeling inside that I tried to hide deeply because I dont want anyone (including me) know. I’m grateful I’ve done it all, past it all, because therefore here I am, now I come to love myself better and better everyday, unconditionally.

And I just realized that the more I love myself and the more I close to Allah, I feel whole. I’m completed and I don’t fear anything.

I, once more, got my strength and armor again now. And this one, a very very powerful one.

So guys, gals, ladies, and gentlemens, now The Queen of Awesome *slash* The Magnificent Warior—both are me—has been re-awakened safe and sound again, ready to rule from the throne.

You better be prepared.

Bahasa · My Chaotic Philosophy

Sebelum Manusia Dilahirkan

Pepatah mengatakan, “Kita toh tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tua kita.”

Tapi bagaimana kalau ternyata hal itu salah? Bagaimana kalau ternyata kita sudah memilih mereka sejak awal penciptaan?

Bayangkan kalau di Alam Sebelum Penciptaan nun jauh di sana, ada sekumpulan anak yang berbaris rapi di sebuah ruang besar berlatar putih, kosong, hampa, dan superbesar. Masing-masing menggunakan jumpsuit seperti seragam star trek dengan warna putih polos. Di depan mereka terpampang layar berukuran gigantis dengan foto pasangan-pasangan yang ada di alam semesta, dan mereka mengantri untuk memilih siapa yang menjadi orang tua mereka. Ketika gilirannya tiba, si anak akan maju ke Sang Pencipta, menyebutkan pasangan mana yang mereka inginkan lalu, ya sudah, apabila Sang Pencipta juga setuju maka si anak akan dibawa ke portal di mana dia akan diantar ke dunia yang baru di dalam rahim orangtua wanita yang dipilihnya. Jadi secara singkat, untuk memilih orangtua kita tinggal mengantri – memilih dari layar – menyebutkan pesanan – kemudian pesanan diantarkan.

Ya kan siapa tahu proses memilih orang tua sebenarnya mirip seperti proses memilih paket burger di McDonalds?

Kenapa kita memilih orangtua seperti yang kita miliki saat ini, nah itu baru pokok masalahnya. Jadi aku anggap saja begini: setiap anak yang masih di Alam Sebelum Penciptaan itu, merupakan penjelmaan malaikat dengan misi mulia. Sang pencipta mengutus anak-anak ini untuk menjadi penyelamat, penjaga, dan pendamai dunia yang akan mereka tinggali nantinya. Maka ketika mereka memilih orangtua, pertimbangan mereka bukanlah pertimbangan egois seperti “Apa hidup saya akan sejahtera kalau lahir dalam keluarga kaya raya?”, atau “Lebih mudah mana ya, hidup jadi orang Kongo atau Madagaskar?” melainkan “Apakah dengan lahir di keluarga mereka, saya dapat membuat kehidupan mereka lebih baik?” atau “Apa pengaruh yang bisa saya berikan ke dunia apabila saya terlahir sebagai bangsa Denmark?”. Orientasinya bukan kepada diri mereka sendiri, namun ke dunia luar.

Nah, baru kan kau sadar bahwa perkataan “Setiap manusia diciptakan untuk tujuan tertentu”, ternyata sangat beralasan.

Namun masalah keduanya, ketika kita dilahirkan, ingatan kita akan dihapuskan. Karena kita berada di dunia yang berbeda dari dunia sebelumnya maka Sang Pencipta me-reset kita kembali dari yang sebelumnya jelmaan malaikat (lengkap dengan pemikiran mulianya) menjadi manusia seutuhnya (bersama dengan seluruh nafsu dan pemikiran manusiawinya). Nah, di sinilah masalah-masalah setelahnya bermunculan: karena kita hampir sepenuhnya lupa dengan tujuan awal kita yang mulia.

Sebelum terlalu jauh, sekarang aku ingin bertanya padamu. Kalau semua spekulasiku di atas benar, kira-kira apa alasan awal kau memilih orangtuamu saat ini? Misi apa yang Sang Pencipta berikan kepadamu di awal waktu? Dan apa tujuan muliamu diciptakan ke dunia?