Bahasa · My Chaotic Philosophy · My Writer Side

Tadi Aku Memukuli Kepalaku Sendiri

“Tadi aku memukuli kepalaku sendiri.” Di dalam pemikiranku, begitulah aku melapor kepada psikologku, seorang wanita muda berusia mungkin di awal 30an, Mbak Fenny, begitu aku biasa memanggilnya. Kalimat pertama yang aku katakan untuk membuka sesi kali ini terasa seperti sebuah pengakuan dosa, mengingat di sesi sebelumnya dia sempat berusaha dengan berbagai cara agar aku mau memperlakukan diriku sendiri dengan baik.

Sejahat apa pun orang-orang di sekitarku, aku jauh lebih kejam terhadap diriku sendiri meski mungkin tidak akan ada orang yang mempercayainya. Semua kata-kata yang dilontarkan suara-suara di dalam kepalaku sesungguhnya sangat jahat. Mulai dari “Dasar kamu bodoh! Jelek! Tidak berguna!” sebagai makian yang paling halus, hingga “Lebih baik kamu mati saja deh!” sebagai makian yang paling jahat yang dapat aku lontarkan kepada diriku sendiri sebelum akhirnya, biasanya, aku hanya akan menangis, menangis, menangis, menangis, lalu kena serangan panik, lalu sakit kepala, lalu ketakutan entah mengapa, lalu aku mengurung diriku di kamar, bersembunyi di dalam selimut, lalu menangis dan menangis lagi sampai ketiduran.

Tapi kali ini aku sampai memukul-mukul kepalaku sendiri, hanya karena hal sepele, yaitu aku menumpahkan air di kulkas sehingga semuanya kotor dan berantakan dan aku yang sedang kelelahan terpaksa harus membereskan semuanya. Iya, saat ini kedengarannya memang sepele. Tapi saat itu, suasana hatiku sedang tidak karuan. Seperti ketakutan, seperti cemas dan panik tanpa sebab, seperti dikejar-kejar entah apa.

Beberapa saat sebelumnya memang aku habis bertemu seorang teman untuk membicarakan proyek yang sedang kami jalani. Tapi kemudian dia mengajak teman-temannya, yang adalah adik kelasku, yang aku sendiri tidak begitu nyaman berada di dekat mereka—iya aku orangnya memang pilih-pilih, hanya mau bergaul dengan orang yang memberiku perasaan yang nyaman dan frekuensi yang positif saja—dan bersama, mereka membahas hal-hal yang memicu banyak sekali emosi negatif dalam diriku dan perdebatan-perdebatan yang sungguh aku sangat hindari, seperti politik dan gosip-gosip negatif antar teman sepergaulan. Belum lagi di saat yang sama, aku juga sedang kesal dengan teman dekatku yang lainnya dan aku habis mengatakan dengan jujur via chat, alasan kenapa aku kesal sama dia.

Mungkin memang cara dan maksudku positif karena aku belajar kalau punya masalah antar teman lalu dipendam dan hanya melampiaskan dengan silent treatment saja, 1. Temanmu belum tentu bisa paham, 2. Permasalahan itu tidak akan selesai, 3. Dampak psikologis yang ditimbulkannya akan masuk ke alam bawah sadarmu karena tidak berhasil diluapkan.

Tapi ternyata aku tetap terkena energi negatif dari kemarahanku sendiri, dan temanku pun tidak mengerti dengan cara itu, jadi begitu deh, rumit.

Intinya, aku pulang ke rumah dengan pikiran dan suasana hati yang sangat, sangat, sangat, sangat kacau. Rasanya walau pembahasan proyek dengan 1 temanku tadi berlangsung lancar, tapi karena bertemu orang-orang yang memiliki frekuensi negatif itu, aku jadi pulang dengan membawa awan hitam yang besaaaaaar sekali di atas kepala. Dan bukan cuma melayang, awan hitamnya juga memberi aku hujan, petir, badai, bersahut-sahutan.

Oleh karena itu kesalahan kecil yang aku buat sendiri pun jadi terasa besar. Lalu aku marah, marah sangat sangat besar kepada diriku sendiri, lalu aku lampiaskan kepada diriku sendiri. Aku pukul kepalaku sendiri sambil berseru “BODOH! BODOH! BODOH! BODOH!” berkali-kali.

Ketika aku melakukannya rasanya puas karena kemarahanku bisa terluapkan. Tapi rupanya di saat yang sama aku juga merasa terluka. Ada sesuatu dalam diriku yang terluka. Rasanya syok, sampai dadaku sesak.

Lalu setelah semuanya selesai, aku mengurung diriku sendiri di kamar dan menulis di jurnalku, tulisan permintaan maaf dari aku untuk aku.

Tapi rupanya itu belum cukup dan bagian di dalam diriku yang terluka tadi itu tetap tidak terobati. Jadi aku menangis, menangis, menangis, sampai saat aku mengetik ini pun, aku masih menangis.

Setelah aku pikir-pikir, oh, jangan-jangan yang menangis itu inner child-ku. Aku yang masih anak-anak, sekitar usia 8-9 tahun. Dia kaget diperlakukan sangat kasar secara tiba-tiba oleh aku yang sudah besar. Ketika tadi aku menangis, berkali-kali terlintas pemikiran dalam kepalaku, “kenapa aku harus diperlakukan seperti itu? Aku kan cuma salah sedikit saja, kenapa aku dijahati? Memang aku salah apa lagi?” Begitu, berulang-ulang. Itu mungkin Si Kecil Aku, sedang menangis syok, tidak tahu salahnya apa, tapi tiba-tiba menerima perlakuan yang sangat, sangat kasar.

Menulis ini, aku jadi menyadari, mungkin di dalam diri kita masing-masing memang ada 2 persona. Kau yang Masih Kecil, dan Kau yang Sudah Besar. Kau yang Masih Kecil itu ada di dalam sana sejak lama, membawa semua luka dan sakit hati yang kau terima saat kau kecil. Entah dari orangtua, teman-temanmu dulu, lingkungan tempatmu dibesarkan, keluarga dekatmu, siapa pun itu. Lalu ada Kau yang Sudah Besar yang kini menjadi cangkangnya, yang setiap hari digempur oleh realita atas hari-hari baru yang dialami oleh kalian berdua.

Seharusnya, kalian berdua saling mencintai, saling menyayangi dan melindungi, karena kalian adalah orang yang sama. Kalau tidak kalian, siapa lagi yang akan melakukannya? Bukannya malah saling menyerang, saling menyakiti karena luka yang masing-masing kalian bawa.

“Aku yang Kecil, maafin aku yah. Tadi aku pukul kamu, sungguh aku tidak bermaksud begitu. Itu karena aku sedang ada masalah saja, jadi suasana hatiku sedang tidak enak. Tidak seharusnya aku melakukan itu, tidak seharusnya aku bersikap kasar kepadamu. Seharusnya aku malah melindungimu dan menjadi rumah yang baik untukmu. Maafkan aku ya.  Aku tidak ingin melakukannya lagi, aku ingin berjanji, tapi aku takut kau malah makin terluka kalau ternyata suatu saat aku melakukannya lagi padahal aku sudah janji. Oleh karena itu, ingatkan aku selalu ya. Kalau aku mau berbuat jahat padamu, cegah aku ya. Ingatkan aku bahwa aku sayang sekali padamu. Sayang sekali, bahkan sampai bersedia memberikan apa pun untukmu. Sekali lagi maafkan aku.”

“Aku yang Sudah Besar, tadi tuh aku takut sekali. Kaget dan takut, karena tiba-tiba kau pukul aku, padahal aku hanya melakukan kesalahan yang sama sekali bukan apa-apa. Dan adikmu pun ada di sana, dia lihat aku dipukuli begitu. Sakit sekali rasanya, sungguh.

Tapi ya sudah kalau ternyata tadi karena pikiranmu sedang kacau. Aku juga kadang begitu kok, ketika pikiranku kacau, aku tidak lagi dapat mengontrol diriku sendiri. Memang sedari kecil kita berdua sama-sama punya masalah pengendalian diri. Aku maklumi. Tapi aku nggak mau itu kejadian lagi ya. Kalau kau memperlakukan aku seperti itu, aku jadi takut. Aku jadi mau kabur darimu sebagai rumahku, padahal kan aku nggak bisa ke mana-mana, selamanya ada di dalam sini, jadi nanti yang kena akibatnya bisa-bisa kau sendiri.

Aku masih sedang berusaha untuk memaafkan, tapi masih susah. Aku masih kaget luar biasa, aku masih takut, sedih sekaligus malu diperlakukan seperti itu. Tapi mungkin nanti pelan-pelan bisa hilang. Nanti kita bisa berteman lagi. Jadi selama itu, jangan pergi dari aku ya. Tetap berusaha berteman dengan aku ya. Aku juga sayang sekali padamu, kau tempatku pulang. Tanpamu, aku bukan siapa-siapa. Perjuanganku dulu, jadi tidak ada artinya.”

Terima kasih sudah berusaha memahami aku dan minta maaf secara tulus padaku. Memang masih agak susah menerima maafnya, tapi nggak apa-apa, nanti juga bisa kok. Sering-sering bacakan aku buku anak-anak yang bagus-bagus, dan punya akhir bahagia semua ya, supaya aku jadi senang lagi.”

20180808_163618_769