Bahasa · My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

Kontemplasi.

Biasanya kita pulang dengan membawa banyak sekali tambahan emosi dan perasaan. Entah punya kita sendiri atau bukan. Satu berisi gula-gula dan parfum bernama bunga daisy, satunya lagi berisi mata besar merah menyala-nyala dan petir yang menyambar-nyambar di kaki.

Tapi anehnya, hari ini aku tidak merasa keduanya terasa nyata. Jauh, jauh sekali. Ah, sepertinya aku sudah menjadi cukup kebal, ya. Terlalu banyak tambahan gelembung-gelembung isi emosi sampai jadi mati rasa.

“Baguslah,” aku bergumam. Baguslah kalau memang sudah tidak terasa apa-apa. Aku bisa simpan energiku untuk hal yang lainnya. Pun kau juga begitu, kan?

Lalu kita berjalan, berjalan, berjalan, kadang berlari, lalu lanjut jalan lagi sampai mencapai ujung jembatan. Tidak sengaja bertemu dengan orang-orang lainnya yang anehnya banyak bertanya, seolah-olah kita bisa tahu semua jawabannya? Seolah mereka sendiri sudah selesai dengan permasalahan hidup mereka saja?

“Jadi bagaimana?”
“Lalu kapan?”
“Mengapa bisa?”
“Haruskah begitu?”
“Lantas mengapa tidak begini?”
“Apakah kau mengerti?”
“Sudahkah kalian pelajari?”

Kita saling berpandangan, mulut berdiam seribu bahasa, kebingungan.

Apakah mereka sudah selesai dengan semua masalah mereka? Bagaimana bisa masih ada tempat di meja sesempit itu untuk mereka isi dengan piring-piring yang bukan milik mereka sendiri? Banyak sekali ya mereka punya waktu? Daripada mereka tanya-tanya kita, yang jelas tidak tahu apa-apa, mendingan mereka bikin seminar saja kan, lebih berguna.

Begitu kita berpikir seraya saling berpandangan. Ribuan tanda tanya yang tak kunjung lenyap dari dalam kepala.

Tidak adil, benar-benar tidak ada yang adil. Lalu jawabannya memang bisa kita cari ke mana? Jalan di belakang jauh sekali lho. Berkelok-kelok seperti labirin, kedap dan gelap seperti di ruang hampa udara. Bahkan untuk sampai titik ini pun aku harus jalan kaki ribuan tahun, dilanjut lari sprint ribuan tahun pula lamanya, lalu terpaksa menyelam ratusan tahun setelahnya padahal aku bahkan tidak bisa berenang. Itu, dan aksi-aksi absurd lainnya yang mungkin telah kulupakan karena saking banyaknya.

Saking anehnya tinggi dinding di ujung jembatan ini, aku hanya bisa tertawa sendiri. Aku menoleh dan kau pun ikut tertawa pula. Mengapa sebelumnya dinding ini tidak kelihatan? Kalau sebelumnya kita tahu, kan, kita tidak usah jalan ke sini sekalian. Tapi terlambat, jembatan di belakang sudah lenyap. Dibakar oleh entah siapa. Ah, mereka itu lagi kah yang tiba-tiba ikut campur? Kenapa ya orang-orang jadi banyak bicara?

Leave a comment