Author: Jonas Jonasson
Translator: Marcalais Fransisca
Publisher: PT Bentang Pustaka, 2015
Pages: 508 Pages
Rating: ★★★★★ of ★★★★★
Prologue
Setelah resign, saya mengira akan punya banyak waktu luang nanti. Oleh karena itu sebagai antisipasi saya membeli beberapa buku yang memang sudah saya inginkan dari lama sekali untuk mengisi waktu luang tersebut secara lebih berfaedah.
Tapi ya, ternyata hal itu nggak sepenuhnya benar. Ternyata setelah saya resign pun waktu saya lebih banyak tersita untuk urusan kuliah, dan beberapa untuk pekerjaan freelance, tapi sebagian besar untuk tugas-tugas kuliah. Saya sampai nggak habis pikir, akan bagaimana jadinya kalau saya belum resign. Bisa-bisa rabu-kamis-jumat saya dijatah enggak tidur semaleman demi ngejar tugas.
Oke sudah cukup curcolnya.
Jadi dari beberapa buku yang saya beli tersebut, salah satunya adalah buku ini. Saya ingat memegangnya erat-erat dengan mata nggak berkedip sedikit pun begitu melihat covernya waktu di Gramedia akhir tahun lalu. I mean, lucu sekali kan ya desain sampulnya! Begitu pula dengan judulnya yang panjang tapi tidak kalah nyentriknya.
Sekilas memang terlihat seperti buku self-help gimana gitu sih, tapi setelah dibaca sinopsisnya, ini ternyata buku fiksi, kawan-kawan. Maka ketika beberapa minggu lalu online bookstore favorit saya mengadakan sale dan voucher redemption, segera lah saya manfaatkan untuk membeli buku ini.
Main Story
The 100-year-old Who Climbed Out of Window and Disappeared, atau jika dibahasaindonesiakan menjadi “Pria 100 Tahun yang Memanjat Keluar Jendela dan Menghilang” ini bercerita tentang…ya, tentang pria berusia seratus tahun yang memanjat keluar jendela dan menghilang #plak. Allan Karlsson tinggal di Rumah Lansia di kota Malmköping, Swedia. Sore itu tepat hari ulangtahunnya yang keseratus tahun dan Rumah Lansia tersebut, dengan dukungan walikota dan lain-lain, berniat mengadakan sebuah pesta untuk merayakan ulang tahun Allan. Kejadian menghilangnya Allan kemudian membuat gempar seisi kota dan, bahkan, seisi Swedia. Tapi petualangan Allan selanjutnya serta cerita tentang masa lalunya ternyata lebih menggemparkan lagi.
Kalau ada cara baru untuk belajar sejarah, atau untuk menjabarkan sejarah tanpa terasa seperti belajar sejarah, saya rasa buku ini jawabannya. Sebagian besar buku ini tidak bertempat di Swedia tahun 2005, asal dari si tokoh utama, melainkan di seluruh dunia, berpindah-pindah dari Swedia ke Spanyol, ke Amerika, Tiongkok, Soviet (bahkan, Indonesia!), dan semua negara besar lain baik blok Barat mau pun Blok Timur di masa perang dunia kedua.
Oke, ini salah satu kelebihan mencolok dari buku ini. Risetnya–all hail Jonas Jonasson–sangat luar biasa. Saya pernah buat cerita tentang bioterorisme Soviet di jaman Perang Dunia Kedua, dan walaupun unsur itu sendiri hanya muncul sedikiiiiiit sekali di cerita, saya membutuhkan banyak sekali link dan membaca banyak sekali referensi untuk dapat menuliskannya. Saya nggak bisa lagi membayangkan how much it takes untuk dapat menuliskannya sebanyak satu buku! Cara curangnya, Jonas Jonasson adalah seorang jurnalis, salah satu dari sedikit profesi yang berisi orang-orang yang tau segala hal, menurut saya. Tapi di luar itu, saya cukup overwhelmed dengan penulisan yang luar biasa detail tentang sejarah perang dunia tersebut. Bahkan seolah Jonas Jonasson mengenal Stallin, Mao Tse-Tsung, dan Truman secara personal.
Ya, kalimat terakhir merupakan kelebihan keduanya. Karakterisasinya kuat sekali. Persfektif Allan sebagai tokoh utama dan pemandu cerita menjadi sarana untuk membangun karakter lainnya, namun karena menurut saya karakter Allan sendiri sudah cukup kuat, sama sekali tidak ada masalah dengan membangun citra karakter lainnya. Tokoh-tokoh klise sih pasti ada, contohnya seperti Bolt dan Bucket serta Caracas yang tipikal stereotip penjahat idiot banget. Tapi toh mereka tidak jadi parasit cerita, malah secara paralel membantu membangun karakterisasi tokoh lainnya.
Kemudian yang ketiga adalah plotnya. Saya nggak berpikir ini sebagai kelebihan atau gimana. Perlu diakui juga walau pun sama sekali tidak gampang memakai alur campuran tapi harus tetap menyeimbangkan antara keduanya, plot cerita maju-mundur yang bercabang akan sangat membantu bagi penulis yang kena writer-block (kalau Anda adalah penulis fiksi, Anda pasti paham), tapi kenyataannya saya merasa cabang cerita ini kadang berat sebelah. Kadang penulis terlalu fokus menceritakan bagaimana cara Allan meledakkan jembatan Tiongkok di Oktober 1945 silam, padahal nasibnya di tahun 2005 sedang dalam keadaan rumit-rumitnya tapi terbengkalai begitu saja. Dan dalam banyak kesempatan, saya berpikir penulis begitu bersemangat menguliahi pembaca dengan proses infiltrasi komunisme di Korea dan perang ideologi blok Barat dan Timur sampai nggak menyadari bahwa tulisannya membosankan. Tapi untungnya sang Penulis punya tokoh keren, Allan Karlsson, dan humor yang bagus untuk memandu audiens agar tetap membaca.
Nah, ini bagian favorit saya, humornya. Saya sempat menebak-nebak apa genre spesifik yang tepat untuk buku ini selama saya membaca. Apakah fiksi petualangan, fiksi historikal, fiksi komedi, akhirnya saya memutuskan sub-genre yang (sepertinya) tepat adalah: Fiksi komedi satir historis. Karena jujur aja, saya kebanyakan ketawa baca buku ini, seringkali sampe nggak bisa berenti. Jonas Jonasson saya akui punya sense of humor yang asik sekali, dan sifat itu diwariskan secara sukses ke tokoh-tokohnya. Namun dengan banyaknya bahasan politik di buku ini, humor itu pun dengan sendirinya bertransformasi jadi satir. Contohnya seperti penggambaran Indonesia yang semuanya bisa dibeli dengan uang dari sudut pandang seorang Swedia, itu satir sekali kan?
Secara umum, plothole yang saya lihat di buku ini justru sama sekali tidak berhubungan dengan plot (kalau pun ada, saya berarti nggak begitu menyimak karena saya keburu pusing duluan dengan perang ideologi antara pejabat soviet dan amerika) tetapi berada di Allan Karlsson sendiri. Maksudnya, dia kan seorang lansia berusia hampir 100 tahun ya, namun melakukan perjalanan lumayan rumit begitu, apa itu nggak berpengaruh bagi kesehatannya? Apa giginya, di usia seratus tahun, masih lengkap sehingga dia masih ngelantur bicara dengan jelas? Apakah dia nggak seharusnya pakai pampers ke-mana mana untuk memudahkan hidup seorang berusia seratus tahun? Apa lutut berusia seabadnya masih sehat sehingga Allan masih bisa memberi makan gajah dan membuatkan kopi untuk inspektur yang mengejarnya kemana-mana? Bagaimana bisa penulis tidak memperhatikan beberapa hal kecil seperti itu ya, karena secara umum, Allan di usia seratus tahun yang saya baca hampir tidak ada bedanya dengan Allan di usia empat puluh tahun yang melintasi pegunungan Himalaya naik unta. Yang mana hal ini bikin partisi antara plot lampau dan plot sekarang jadi kabur.
Epilogue
Tapi sekalipun saya seolah lebih banyak ngeritik, nyatanya saya overwhelmed dengan buku ini yang ditulis hampir seolah effortless dan alami sekali. Bahkan kalau dibaca baik-baik, saya menulis review ini pun dengan bahasa yang dipakai Jonas Jonasson, bukan bahasa khas saya sendiri! Lumayan bikin book-hangover juga ternyata si Jonasson ini, saya pun harus kasih apresiasi besar untuk sang penerjemahnya. He did such a wonderful job, I think.
Untuk Allan Karlsson, saya bersedia kasih bintang lima full, dan sekarang saya sedang dalam proses memburu buku karya Jonas Jonasson yang lain!