English · My Chaotic Philosophy

me, my incapability to control my emotions, and my limbs who seems likely have their own minds.

i dont know how long have been i stare at this google sheet, yet my work hasnt been done. for these 4 or maybe 5 hours, im not even sure what is exactly ive been doing on that spare of time, because i cant get anything done.

the same case goes for my personal projects too. i put them on hold for somehow feels like just a week long but it actually happened around 3 weeks long and before i know im getting late on everything and catches up for everything. yet i cant manage to catches everything up, i just cannot seems able to.

the merely friends that exist in my life seems like just my very dear workmate friends. not that im not happy tho, but living in this age where everyone seems to have their life altogether and getting out there with their own life, it feels very lonely tho, but as i stare on my phone, im surprised to the fact that i am the one who shut myself out from any form of social contacts because i cant bear to talk to anybody. phone calls? video calls invitation? friend’s wedding invitation? asking for hanging out? chats? on whatsapp? on my ig dm? on telegram? too much, too noisy. i cant bear. yet i cant bear to be alone also. confusing.

this is not the kind of slowing down that the therapist, or any people in that matter, suggesting. this slowing down phase that not do the body and soul good. this the kind of slowing down because you are, in any way, rusted and broken, not because you intent to giving yourself some rest.

body, get up! no.

body, write that shitty captions RIGHT NOW! no.

body, just, please, working out! no.

brain, for once, please make yourself useful! you bet.

well i should get my job done, i paid for it, i have to be professional. guess what? no. my brain freeze and my body seems to refuse anything that i order to. i might not be as professional as before. and all i want to do in my life is to do nothing. lying in my cold, dark bedroom, and questioning all the wrong thing that happened in the life itself. who cares if my job doesnt meet the end?

i think something is broken and lost inside of me, and by that, also my willing to living the life.

English · My Chaotic Philosophy

I must learn to rest.

As I supposed to working by now, I write here instead.

Pandemic supposed to makes us live a slower life, in my initial opinion. With the #StayAtHome habit that forced to us and anything. But how come it feels and becomes faster and faster for me?

It’s like i’m running with a heavy baggage on my back, dragging a burdensome thoughts all along. For what? I wonder. No one knows.

I catch out breath, i need to stop and think. Or maybe merely to sleep. A full 8 hours sleep.

Came to office with the unsure thoughts. I’m not even a fan of bad-ending, let alone bad news. I. CAN. FUCKING. FEEL. PEOPLE’S. EMOTION. That’s one of my curse. Either i’m an empath or i’m just emotionally traumatized. That, and multiplied by my sensitive premonition.

When i senses something bad will happen, that feeling comes in the form of quiet anxiety that crawl inside my head, in my chest, on my hands. My heart quietly pounding faster terrified by something i dont even know yet. My palms will feel funny as if there’s something cold and hot and disgusting on it, it makes me goosebumps. Sometimes i can even feel where that ‘something bad’ will come from. Either from people, human, sky, trees, winds. And I hate the time when it appeared to be true. It’s like a curse and a gift at the same time. The horror is unbelieveable, but as a gift, it makes me more cautious than the rest of people around me, maybe. Whichever it is, i wish i never feeling it, nor that i ever try to tell someone about it because, what for? We’re living a hard present life already.

I must learn to rest. To filter my thoughts. To control the velocity of my own pace. Though no one will allows me to do so.

I can’t. Too much to think, too much to do. Every minutes I think in sequence. I wil do this and after that, i will do this, then this, then this, and just that, every seconds of my life becomes a sequence of to-do list orders that hiding behind the mask of “Time Efficiency”.

Well, my life surely becomes much more time-efficient, but am i sane still? I dont think so.

I’m still clueless about what kind of music i should listen. A relaxing, sleepy one like Gymnopedies by Erik Satie, the one that i always play when i have anxiety or panic attack? Or the sunny, up-spirited one like SPYAIR? Or a lo-fi, aesthetic one to makes me works more efficiently? Or a electro-dance, singalong-able by BlackPink that keeps me having fun while running errands? Or an emo punk by Linkin Park, MCR, SUM41, Good Charlotte, that I actually memorized all the lyrics and give me nostalgic, young feeling?

The fact is, I dont even know what i need, nor what i should do, hence let alone choosing the song as a backsound.

All the hustle and bustle, the juggling and struggling that we all going through, what for? To make us ourselves happy? Our parents happy? For money? For financial independency? For the position and social status? To help somebody else or to prove somebody else? What to prove?

I’m tired. I wanna sleep for million years ahead.

Bahasa · My Chaotic Philosophy · My Writer Side

Jawabannya Nanti Akan Turun Sendiri, Kok

“Jadi itu ya, yang Kau mau?”, batinku kepada Tuhan. Selagi temaram lampu jalanan ibukota berkejaran dalam lintas pandangku. Merah, kuning, hijau, biru, dan putih berkerdipan.

Pernahkah kau mengalami saat di mana hampir seluruh pertanyaan-pertanyaan terbesar yang sedang menggantung dalam birai hidupmu, baik yang kau bikin sendiri mau pun yang orang lain lemparkan padamu, terjawab tuntas dalam satu malam, satu waktu?

Sembari menengadah ke langit malam tanpa bintang, tanpa bulan yang dikabarkan akan gerhana dalam beberapa waktu dekat ini, akhirnya aku mengalaminya.

“Jadi selama ini, Kau berusaha menuntunku ke jawaban ini, ya?” Batinku lagi, sambil memandang bayangan gelap awan di langit. “Maaf ya, selama ini aku nggak lihat.”

Aku berusaha memvisualisasikan saat-saat getir di waktu-waktu yang telah lalu, di mana saat itu aku juga tengah memandang langit berawan yang sama, hanya dengan isi kepala yang pecah belah dan emosi tak beraturan laksana badai Katrina di Florida. Kini, aku mulai paham apa artinya. Ternyata semuanya berhubungan, menjalin benang-benang alasan yang mengarah pada satu titik pusat berupa misi hidup dari Sang Pemilik Jagat Raya.

Suara klakson kendaraan saling berebut di udara, masing-masing dengan frekuensi dan urgensi yang berbeda-beda. Aku berada di tengah kompetisi bunyi itu, menumpang kendaraan roda dua yang melaju kencang. Tapi pikiranku sedikit pun tidak berada di sana, di permukaan bumi yang sibuk ini, melainkan terus melayang-layang dalam koneksi putus-sambung antara imajinasi spiritual dan dunia hampa.

Jawaban yang Tuhan berikan bermacam-macam, karena pertanyaan yang kukirimkan juga bermacam-macam. Tapi apakah sesuai harapanku? Nah, di sini serunya.

Ketika aku menerima semua jawaban itu, aku menyadari 1 hal: bahwa hidup manusia berada dalam 1 jalur yang sangaaaaat rumit namun spesifik dan sudah ditentukan. Kalau kita berusaha melawan jalur itu dan malah memaksa masuk ke jalur lain, nanti kita ditabrak oleh manusia lainnya si empunya jalur. Nah, lho, sakit kan?

Kita yang menentukan hidup kita? Iya betul, tapi Tuhan sudah kasih kita proporsi, sesuai batas kemampuan dan perfektif kebahagiaan versi kita sendiri. Jadi kalau jalurnya diikuti saja dengan ikhlas dan hati ringan, justru jadi lebih mudah. kalau bahasa gaulnya, enjoy the ride.

Memang hati manusia itu dalaaaaam sekali, sampai tidak terukur. Saking dalamnya, kita jadi makhluk yang selalu menuntut. Mau ini, mau itu, mau lagi, mau lagi, mau lagi. Sampai jalurnya orang pun, kita tuntut juga! Tapi tenang saja, nanti cepat atau lambat, Tuhan bakal beri petunjuk bahwa supaya kamu bahagia, kamu sebaiknya ambil jalur yang mana.

Nah, jawaban dari pertanyaanku ada yang sesuai keinginanku, ada juga yang tidak. Khusus yang tidak ini, aku sekarang hanya bisa tersenyum kecil sambil membatin, “oh ya sudah, mau bagaimana lagi ya. Oke deh aku jalankan Ya Tuhan. Mohon kerjasama-Nya sekali lagi yah!” Sudah, begitu santainya sekarang. Kalau dulu, aku bisa sambil nangis-nangis, sambil murka, akhirnya malah jadi bumerang buat diri sendiri lagi, malah menyiksa diri sendiri lagi hahahaha.

Kalau dalam budaya Jepang, mereka mengucapkan “Gouchisou-sama deshita,” yang artinya “terima kasih atas hidangannya,” setelah makan. Tadi, tanpa sadar aku pun mengucapkan hal yang sama.

‘Loh, untuk apa, ya?’ Batinku, bingung sendiri. Setelah aku pikir-pikir, oh, rupanya alam bawah sadarku mengucapkan terima kasih pada Tuhan, atas ‘hidangan’ berupa ujian-ujian yang diberikan-Nya selama ini. Atas campuran rasa bimbang, amarah, dan sedih tak terperikan yang silih berganti dan bercampur jadi satu. Atas orang-orang yang datang dan pergi. Atas pertengkaran dan perdamaian tak terhitung jumlahnya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Atas ‘hidangan-Nya’, aku bisa ‘kenyang’ dan bertumbuh sebagaimana semestinya. Terima kasih atas hidangan-Mu ya, Tuhan.

Selagi jarakku dan rumah yang semakin dekat, aku menghela napas. Kali ini dengan santai menghampiri akhir dari sebuah siklus karma buruk yang selama ini Tuhan berikan untuk menoyor kepalaku. Sedari awal, jawabannya ternyata memang jelas sekali. Aku saja yang punya ego ketinggian sehingga tidak kelihatan.

Menit demi menit pertukaran kata-kata, saling bernapas dalam udara bebas yang sama, aku menutup pintu. Senyap dan ringan. Namun rasanya seperti entah bagaimana ada pintu lain yang terbuka, lengkap dengan musik latar nada_surgawi.mp3, sorotan sinar Ilahiah keemasan, dan para cheerleader bersorak-sorai menyambut dengan “Kamu berhasil!”, “Selamat datang!” Bersahutan.

Entah apa lagi pertanyaan yang akan tergantung di birai kehidupanku, namun setidaknya satu fase sudah terlewati. Saatnya menyongsong fase yang lain.

Nah, aku punya saran untuk kamu, yang mungkin sedang dalam tahap menunggu jawaban dari pertanyaanmu yang tak kunjung usai juga, cepat lambat jawabannya akan turun sendiri kok. Nanti kamu juga pasti akan berada dalam fase menerima jawaban yang tidak sesuai keinginanmu dengan, “Oh gitu yah, Tuhan? Baiklah, mau gimana lagi, terima kasih yaa!”

Jadi jangan menyerah apalagi mencoba sakiti diri kamu sendiri ya! Enjoy the ride!

English · My Chaotic Philosophy

What He answered inside my head

“Not yet,” He said, “Not that close. Not that soon.”

I asked, “why?”

“You haven’t fulfilling your duty.”

“Is that because I’m walking too slow?” Nearly cried out of worries, I am.

“It’s because I’ve arranged the perfect timing for you.” He answered.” Be patient and have faith in Me.”

“And what is my duty?”

He smiled at me, “you will know.”

English · My Chaotic Philosophy

I want to go home.

As if I’m renting parents here to raise me. As if I’m renting place here to be alive. As if my own name, body, face, gifts, abilities, are all not mine.

As if before anything started and fell into it’s place, I’m begging and begging and begging to let Him allowed me to discover the life I’m now living.

No wonder I never found where and who I belong. I couldnt ever fit in. My mind and heart always wander and wander and wander. But never find it’s place.

This is not my place. I want to go home.

Bahasa · My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

Mendebat Tuhan

“Aku pernah berbicara dengan Tuhan.”

Hening sejenak menguasai jeda seraya desau badai angin di malam bulan Desember berputar-putar tanpa suara di luar jendela. Panah di monitor bergeming di tempatnya, seolah terlalu mengantuk untuk bergerak. Hanya bunyi jam dinding yang menyusup relung hampa dengan gema sayup dramatis.

Klik. Klik. Klik. Klik.

“Kau bukan setan, kan?”

“Bukan, bukan. Aku tidak berbicara dengan-Nya di dunia akhirat sana.”

“Lantas?”

“Bulan Desember, pukul dua malam, tepat hari ini, dua tahun yang lalu.”

“Dia mengunjungimu di mimpi?”

“Tidak. Aku berbicara dengan-Nya lewat situs obrolan elektronik, seperti kita sekarang.”

“Hahahahaha. Lucu sekali. Tak kusangka kau jago berkelakar.”

“Kau pikir aku bercanda?”

“Baiklah, anggap Dia memang betul-betul Tuhan. Lalu apa yang kalian obrolkan?”

“Lucunya, saat itu aku sedang memprotes habis-habisan tentang logika dan hukum yang diciptakan oleh-Nya.”

“Apa Dia marah?”

“Tidak, Dia tertawa.”

“Ternyata Tuhan punya watak yang lumayan santai juga ya.”

“Sebenarnya, setelah dipikir-pikir, aku berharap punya kesempatan berbicara dengan-Nya lagi.”

“Tentang?”

“Komplain internal.”

“Misalnya?”

“Dipikirnya lucu membuat seseorang jatuh bangun sampai berdarah-darah lalu susah payah menyembuhkan diri namun kemudian dijatuhkan kembali sampai setengah mati? Atau ketika seseorang menggantungkan hidup dan matinya pada sesuatu, namun hal itu dicabut begitu saja darinya? Kau tahu apa yang lebih buruk dari pembunuhan? Yaitu pembunuhan tanpa membunuh. Dibiarkan sekarat hingga mati sendiri. Dipikirnya itu lucu?”

“Mungkin dari persepsi Tuhan itu cukup lucu. Siapa yang tahu?”

“Tidak ada yang lucu dengan mempermainkan hidup orang lain.”

“Tidak ada istilah ‘mempermainkan hidup orang lain’ jika kau adalah Tuhan.”

“Kau terlalu positif.”

“Kau terlalu skeptis.”

“Dan Tuhan terlalu dekonstruktif.”

“Setiap orang menunjukkan afeksinya dengan cara yang berbeda-beda, dan dalam hal ini kau membicarakan Tuhan. Tentu saja sebagai Tuhan, Tuhan sudah sepantasnya punya pola pikir sendiri, bukan?”

“Berarti, kata ‘dekonstruktif’ bukanlah istilah yang tepat. Melainkan ‘sok elitis’.”

“Kau akan sendirinya menjadi elitis jika kau adalah sebuah entitas dengan kekuatan Mahabesar.”

“Jika aku adalah sebuah entitas berkekuatan Mahabesar, aku akan membiarkan makhlukku hidup bahagia dan tidak menciptakan emosi-emosi negatif yang ada. Hidup sudah cukup sulit tanpa perlu Dia tambah dramatis lagi. Kau tahu? Aku berharap Dia dapat sehari saja merasakan jadi manusia biasa tanpa kekuatan super-Nya. Hanya untuk mengetahui betapa sulit rasanya dipermainkan takdir.”

“Ah, jadi daripada ‘menyamar menjadi manusia’, lebih baik ‘menjadi manusia’ saja, begitu?”

“Hanya jika Dia tidak terlalu egois dan sok elitis.”

“Sebenarnya, itu justru ide yang bagus.”

“Yeah, tentu—tunggu, apa maksudmu dengan menyamar? Jangan bilang—”

“Selalu senang bicara denganmu. Sekarang, maupun dua tahun yang lalu.”

Hening tanpa ampun menyela menguasai jeda seraya desau badai angin di malam bulan Desember berputar-putar tanpa suara di luar jendela. Hanya jam dinding yang mengerik melatarbelakangi jantung yang berdetak bukan kepalang.

Dag. Dug. Dag. Dug.

My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

Hormonal Turbulence

“Oh gosh, why it have to be rain right in my lowest state of mind tonight?”

“You said you never hating rain?”

“I currently hating everything.”

“Why are you seems so feed up, darling?”

“Know what? I currently asking and begging so many things to God. Too much, that seems like I messing with His life”

“Like what?”

“I just kept asking Him why He seems like playing my life yet everyone claimed that He loves me. God loves all of His creatures and treat them with undefeatable affection, they say.”

“You say you believe in God yet you kept asking His way to love you. Everyone has a different and slightly eccentrical way to show their affection, I guess. And if it’s God, then we have no choice.”

“Exactly. We never have a choice. In fact.” I grunt.

“So what’s wrong?”

“Everything!”

“Give me example.”

“He always take my beloved one out of me. He cheat on all my hard hard works. He makes me have to do everything and anything all alone. He make me feel left and unwanted. He doesn’t treat every human in the world equally the same. I feel so consumed. I know He care, but why He always makes me go through this hard way. For many years, no one knows exactly how hard I struggled yet it seems like not enough for Him! Can you believe it? What else should I do to please Him?”

“Whoa, careful of what you thinking, Darling. I guess we doesn’t have to continue this talk.”

“Another avoidance that I’m so tired of.”

“You know, I think you are just tired. Physically as human and psychologically as an introvert.”

“Yeah, maybe you’re right.”

Bahasa · My Chaotic Philosophy · My Writer Side

Wawancara dengan Tuhan

“Aneh ya, aku sering bertanya-bertanya pada diriku sendiri.”

Jarum jam menunjuk pukul dua dini hari. Satu-satunya penerangan di ruang tertutup itu hanya berasal dari layar kaca datar yang menyorot putih terang menyilaukan. Sepasang mata terpancang layar. Jari menari di atas papan ketik.

Tak, tuk, tak, tuk, tak, tuk.

Langit di luar sana gelap, tanpa keberadaan benda-benda langit. Sunyi dan hampa. Bagai dasar samudera, bagai peraduan bayi yang belum dilahirkan, bagai sisi dalam peti mati dalam liang lahat, bagai tambang batu bara yang ditinggalkan, bagai lubang hitam di luar angkasa—jika memang ada. Bagai….entitas hampa udara.

“Untuk apa manusia diciptakan? Kalau memang untuk membunuh, merusak, merampas, membakar, menghancurkan, melenyapkan, dan semua kata kerja berkonotasi negatif yang tercatat di kamus besar?“

“Kau manusia. Kalau merasa tidak suka diciptakan, iris nadimu saja.”

“Bukan, begini, biar kuperjelas, bukankah kau berpikir ini sangat tidak adil? Maksudku, kita kan tidak menciptakan diri kita sendiri. Tuhan yang menciptakan kita. Tapi Dia lantas menuntut kita untuk berbuat ini-itu dengan mengiming-imingi ganjaran surga atau neraka. Bukankah itu egois?”

“Bagian mananya?”

“Semuanya. Kalau boleh memilih, lebih baik aku tidak usah diciptakan saja. Sulit sekali harus mematuhi ini-itu. Kau tahu, hanya karena suatu entitas memiliki kekuatan yang sangat besar, bukan berarti dia memiliki hak untuk mengendalikan semuanya.”

“Tapi bukankah memang untuk itu suatu entitas berkekuatan besar diciptakan? Untuk mengambil alih kendali?”

“Jangan berpikiran sempit. Kau tahu, baik atau buruk, itu kan pilihan kita sendiri pada akhirnya. Kalau Dia ingin kita bertabiat baik, Dia bisa saja kan membuat kita seperti itu secara mutlak dari awalnya? Itu akan sangat mudah bagi semua pihak. Tapi Dia malah menciptakan kita dengan kemampuan untuk berbuat semau kita. Ya tentu saja akan ada yang buruk juga nantinya. Maksudku, Dia punya kemampuan untuk membuat kita semua MASUK dalam surgaNya. Tapi Dia malah tidak menggunakan kemampuan itu. Mengapa menurutmu? Supaya neraka yang Dia ciptakan bisa ada isinya? Atau apakah terka-menerka mana-yang-akan-masuk-neraka-dan-mana-yang-surga menjadi permainan yang seru untuk-Nya?”

“Hmm… Menurutku Tuhan ingin memberikan kita pilihan.”

“Pilihan kalau berbuat baik masuk surga dan kalau jahat masuk neraka? Itu sih hukum yang Dia buat sendiri. Lihat kan, kita mungkin diberikan pilihan, tapi pada dasarnya kita diperdaya.”

“Kupikir memang hukum seharusnya ada.”

“Kau gampang diperdaya, ya?”

“Ah, kau terlalu liberalis.”

“Terserah. Intinya, kalau yang bisa manusia lakukan adalah merusak dan menghancurkan, mengapa Tuhan menciptakan manusia, kau pikir? Bukankah lebih gampang menciptakan dewi-dewi pelindung alam saja, gitu, misalnya?”

“………….”

“Hei?”

“………….”

“Kau masih di sana?”

“…………”

“Hei, kenapa malah diam?”

“Ketika Tuhan menciptakan manusia, mungkin Ia sedang antara bosan atau punya selera humor yang sangat besar.”

“Apa? Bagaimana? Ceritakan padaku.”

“Menciptakan suatu makhluk yang sudah kau setel apa maunya, itu membosankan, kan.”

“Tidak ada unsur kejutannya, ya?”

“Hm, itu termasuk yang kedua. Selera humor yang baik tentu dapat menerima serangan kejut dengan lebih mudah. Maksudku, tinggal tertawa saja.”

“Seperti: ‘Hahahaha aku sudah tau si A ini akan membuat sumber energi nuklir dan meledakkan chernobyl, seru kan? Seru kan?’ atau ‘Hahaha aku sudah tahu sekte rahasia ini sebenarnya berusaha mengendalikan dunia dengan mencoba mengadu-domba umat-umat tak-rahasia yang ada tapi nantinya malah akan menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana? Tidak tertebak kan endingnya?’ Begitu?”

“Yah, kurang lebih.”

“Seperti anak kecil yang memutar jukebox dan tertawa ketika ia dikejutkan oleh badut yang keluar dari dalamnya?”

“Persis.”

“Ih, egois sekali.”

“Egois?”

“Membuat makhluk ciptaan-Nya memainkan permainan yang sangat lucu untuk-Nya sendiri. Menurutmu bagaimana?”

“Bagaimana?”

“Kalau jadi Dia, aku tentu saja akan tertawa terbahak-bahak melihat manusia bahkan saling membunuh untuk memperebutkan harta karun yang sebenarnya milikku. Lalu saat atmosfirnya mulai membosankan, aku bisa saja tiba-tiba mengambilnya kembali dan menjatuhkannya untuk orang lain. Maka permainan akan kembali menarik.”

“Hahahahaha!”

“Kenapa malah tertawa?”

“Kau tahu? Kurasa ada benarnya juga. Teorimu itu, maksudku.”

“Nah, nah, rupanya kau mulai berpikiran sama denganku kan, ha!”

 “Yah, bagaimana ya membalasnya? Tapi sini, kuberikan pengakuan resmi.”

“Pengakuan? Pengakuan apa?”

“Kau tahu, Aku pikir Aku memang egois.”

Satu-satunya penerangan di ruang tertutup itu hanya berasal dari layar kaca datar yang menyorot putih terang menyilaukan. Sepasang mata terpancang layar. Jari terpaku di atas papan ketik sementara jarum jam menunjuk pukul dua tiga puluh dini hari, suaranya keras menggema sunyi.

Tik, tik, tik, tik, tik, tik.

My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

For Life, Choose One That Matter The Most

IMG_20150924_151128

I came home with such a frustration. I threw away my stilettos, yes that pretty killer (in a literal way) stilettos that broke both of my banks and feet. I started rambling the kitchen, ‘I need coffee’ I said to myself. I need coffee as if I need drugs.

A little teaspoon of sugar, because I still have trauma with my father’s diabetic issue. A perfect pour of hot water. Okay, I got it. Then I brought myself up to the second stair, right into my room. Threw my bag to the corner, change my clothes into the comfort one, and boomed my room with ALL TIME LOW album. ‘Don’t Panic’, the tittle is.

As I fell to the floor and sipped my coffee, I started crying. I consumed so bad that day. It was so many people before, I had to deal with so many talks and eyes and feet that clacked the soft rug beneath me. It was a worst feeling.

But no, that’s not actually the worst, I realized.

People said that Graduation is such a merry happiness. It was all about perfect makeup, photographs, caps, flowers, doll gifts and tons of people say congrats to you. They say it was about celebration. I agree, but also disagree.

It’s true that my makeup was perfect, and my gown, and my stilettos too (except the fact that it killed my feet). I was so proud. So happy. So merry, so joyful. But deep inside I was so scared to death. The fact that I will go to the ‘real’ world, that I don’t ever wanted is killing me. Graduation means facing the new world. But for me, not that way. Not that world.

The red rose that was hand over by my junior, with a pink envelope and note in heart shape said “Happy Graduation.” It was so sweet of her. But apparently, I’m not happy.

I cried hard. My merry feeling went up to the sky, gone. I unactivated my phone, because I couldn’t handle too many social response that time. I torn, buried myself in the corner of my room. No matter how chessy it sounds.

Fast forward, two weeks later, so many of them got accepted by many related companies and starting their own real life. It was so cool of them. I nearly felt envious and jealous and about to lower my pride and started apply too. I want to get the best, like Hanah Montana said, “The Best for Both Worlds”. I wanted this, I wanted that. I wanted to get everything, I was about to be greedily blind.

But it’s about be genuine. I. You. We. Us. Everything in different shapes, comes with different manner. I realized. Let’s start talking about the right proportion, in the most realistic way.

‘If you try to sit on two chairs, you will fall between them. For life, you must choose one chair.’

It slap me, right on the face. Then I decided. I couldn’t get everything. Because we don’t mean to get everything in life. You have to sacrifice, in the most genuine manner to your heart.

My Blabber Side · My Chaotic Philosophy

Recover and Preach

Untitled1

I’ve been wondering lately, what friend actually is. Is that as simple as ‘people who say hi for you constantly’ or ‘people who follows you and likes your posts on social medias’ or ‘people who telling nice things for you always’ or what. What else? Suddenly the profound things becomes shallow and vague.

I’ve made too many distance and space lately. Realized or not. Intention or accidental. It’s not hate, obviously. But I tried not to be fake or wear a mask as possible as I could. But then again, I do it again and again and again. Plastic smiles and laughs and nice acts. Compiled. Nauseated.

Humans are social creatures, that’s the reason? I wondering. No matter what, to be accepted, aquired, qualified, would be the final goals in the end.

But no, no, that’s too dangerous and risky. What’s the point of being accepted if you can be thrown away easily the next day. Everybody hates liar.

But everybody hates rotten honesty too.

Wait. It’s confusing.

Before all, it actually just a simple answer of “What’s me for you” and “What’s you for me” questions. But I don’t need more artificial reason-over-reason anymore.

And, I guess, we all aren’t.