Di hari ini setahun yang lalu, saya pernah menulis bahwa tahun 2016 adalah tahun yang paling berat yang pernah saya alami. Tapi siapa tahu justru hari itu justru adalah awal dari tahun yang lebih berat yang bakal saya lalui?
Tahun 2018 itu, saya kehilangan banyak sekali hal dalam berbagai macam bentuk:
Saya sempat kehilangan kesehatan. Saya pikir saya akan mati ketika saya dilarikan ke rumah sakit khusus dan selama dua minggu lamanya tinggal sendirian di ruang isolasi, menghadapi jarum suntik, penanganan medis, dan obat-obatan yang tidak ada habisnya.
Saya kehilangan banyak orang. Baik sengaja atau tidak, baik yang saya inginkan atau tidak, baik yang sebenarnya berharga atau tidak. Yang paling menyakitkan adalah ketika Tuhan mengambil kembali Bibi saya, yang sudah seperti Ibu kedua saya, yang tanpa dia, saya tidak akan mampu menjadi saya yang sekarang. Kalau kamu patah hati cuma karena putus sama pacarmu, itu bukan apa-apa, bahkan belum ada seperempatnya. Kehilangan Ibu kedua saya bikin saya hancur lebur, kandas tak bersisa.
Saya kehilangan ekspektasi, hampir seluruh harga diri, dan banyak hal yang sebelumnya saya banggakan. Rasanya seperti bertubi-tubi dihadapkan pada kenyataan bahwa saya bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa apa-apa. Satu demi satu baju zirah yang selama ini saya pertahankan seperti dilucuti begitu saja.
Dan itu belum semuanya, nggak sanggup rasanya saya menguraikan semuanya, terlalu memalukan dan menyakitkan.
Tahun 2018 itu, saya masih 24 tahun tapi sudah melalui quarter-life crisis duluan bahkan sebelum menginjak tepat usia 25. Dan ternyata benar seperti yang orang lain bilang, quarter-life crisis itu menyakitkan. Saya dihantui perasaan tidak berharga, kehilangan arah, kehilangan semangat hidup, dan kehilangan keyakinan atas hampir segala hal. Saya tetap tidak suicidal, tapi saat itu saya merasa kalau Tuhan pingin ambil nyawa saya, ya sudah lah ambil saja. Toh saya adalah pengemudi kendaraan, jadi gampang saja cari caranya di jalan raya.
Tahun 2018 itu, pertikaian saya bukan hanya dengan nasib dan sesama manusia, tapi juga dengan Sang Pencipta sendiri. Saya sampai nggak bisa lagi hitung berapa kali saya mengamuk, meradang, menangis meraung-raung, dan meneriaki Tuhan bahwa saya membenci-Nya. Bahwa saya merasa Dia mengkhianati saya, mempermainkan saya sesuka hati-Nya. Dan saya nggak bisa hitung lagi berapa kali saya ‘memboikot’ Tuhan dengan cara berhenti sembahyang lima waktu dengan sengaja, selama 1-2 minggu, beberapa kali dalam tahun itu.
Tahun 2018, saya beberapa kali memutuskan untuk benar-benar membuat janji temu dengan psikolog atau psikiater atau apalah namanya. Serangan anxiety saya luar biasa parah, tidak kenal waktu dan tempat, dan ketika anxiety itu mulai kelewat batas, gejalanya mulai melipir jadi depresi, di mana di saat-saat depresif itu saya mulai berdelusi aneh-aneh. Dan kecuali di blog ini, saya tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun. Membuka diri tentang kondisi mental saya rasanya sulit, saya takut dengan penilaian orang atas diri saya dan terutama, ketika dibicarakan secara langsung maka akan terdengar makin nyata dan makin mengerikan, saya takut menghadapi itu.
Tapi dari semua ujian demi ujian itu, lambat laun saya mulai paham cara kerja takdir dan Tuhan.
Tuhan itu, semakin kamu ngotot minta seseorang atau sesuatu, semakin Dia tidak berikan. Cuma Dia yang tahu baik atau buruknya suatu hal, jadi kalau kamu minta maksa dan keras kepala, kok kesannya kamu sok sekali ya? Kan belum tentu yang kamu mau itu baik menurut Dia. Kalau kebetulan yang kamu inginkan itu buruk dan Dia terpaksa kabulkan karena kamu mintanya maksa, efeknya akan jadi bumerang untuk hidup kamu. Karena itu kalau mau minta, jangan maksa minta ‘yang ini’ atau ‘yang itu’ tapi gantilah kata-katanya dengn ‘apapun yang terbaik menurut-Mu’ dan serahkan saja sisanya.
Cintanya Tuhan itu unik. Eksentrik. Bisa sangat lembut dan indah sampai mabuk kepayang, tapi bisa juga sangat keras, sangat kasar. Though love, istilahnya. Karena Dia selalu mau kamu jadi pribadi yang lebih baik dan Dia tahu bagaimana caranya. Dan caranya seringkali tidak gampang karena tentu saja besi tidak mungkin bisa jadi pedang kalau tidak ditempa dan dibakar sampai berpijar dulu. Masuk akal, kan?
Hukum equilibrium itu berlaku. Tuhan nggak pernah mau kasih sesuatu secara gratis, selalu ada harga yang harus dibayar. Namun sistem jual belinya Tuhan nggak linear dan jarang sekali dalam bentuk atau bahkan waktu yang bersamaan. Jual-beli antara kita dengan Tuhan itu caranya halusssss sekali, bahkan seringkali disamarkan dengan ilusi-ilusi dan kata-kata surgawi. Tapi tetap aja namanya dagang. Kasih sesuatu untuk dapat sesuatu, atau melakukan sesuatu untuk diganjar dengan sesuatu. Dan ini tidak mengenal batas antara hidup dan mati. Kamu tetap harus membayar apa yang Dia kasih dan Dia juga akan membayar apa yang kamu kasih, baik di dunia ini atau akhirat sana. Tapi jangan khawatir, transaksi dengan Tuhan ini legal kok, dan tentu saja adil seadil-adilnya transaksi jual-beli. Malah bisa dibilang justru kita diciptakan oleh-Nya ya dengan tujuan melakukan transaksi ini. Kebayang kan, ternyata Tuhan itu hobinya bisnis ya. Bisnis kelas tinggi malah.
Saya nggak serta-merta mengerti ini. Setelah berbulan-bulan berperang baik dengan Dia mau pun ujian-ujian-Nya, tepatnya memasuki Desember saya mulai lelah, nyerah, dan mulai mengakui kalau saya kalah. Setelah itu saya mulai ikhlas dan menghadapi apa-apa dengan “Terserah mau-Nya aja lah, saya ngikut aja” karena terlalu capek berdebat. Setelah saya sampai di tahap itu, barulah ketemu titik terang dan barulah Dia buka pintu selebar-lebarnya. Saya lalu akhirnya paham apa-apa saja yang sudah Dia ajarkan kepada saya. Ketika sedang mengalaminya, yang akan kelihatan hanya awan mendung badai halilintar saja, tapi kalau sudah selesai dan melihat ke belakang rupanya banyak sekali pelajarannya.
Apa yang saya miliki ternyata bukannya hilang, tapi ditukar dengan banyak hal yang berharga. Ternyata sejak dulu Tuhan selalu cinta sama saya, dan saya pun semakin jatuh cinta dengan Dia. Saat ini bahkan saya bisa bilang bahwa saya dan Dia punya hubungan yang sangat dekat. Kami berdialog sepanjang waktu dan saya makin bisa mendengar-Nya dengan jelas di dalam hati dan kepala saya. Walau pun saya masih suka kelewat solat sih, ya kalau ini murni kesalahan saya dan harus segera saya perbaiki tanpa banyak alasan.
Tahun 2018 itu, luar biasa menyakitkan. Tapi berakhir dengan sangat indah dan saya bisa berevolusi menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Iya, memang seperti itu ternyata cara kerja-Nya.