Bahasa · My Writer Side

Book Review: The Child Thief

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSc1TtgG1119a_ZuXKHtl48KJwiMDi7MQTZaO5lTWwaC18fyUw0

Author: Brom
Translator: Tanti Lesmana
Publisher: Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2012
Pages Count: 936 Pages

Prologue

Kapan terakhir saya ngepost review dan buku apa yang terakhir saya review di sini? Saya bahkan nggak ingat lagi saking lamanya. Truth to be told bahwa kemampuan membaca saya makin lama makin menurun drastis. Kadang saya menyalahkan dunia digital karena merasa sudah di-digitalisasi dengan media-media dan platform dunia maya, terbiasa mendapatkan informasi semudah 140 karakter di twitter dan sekrol-menyekroll instagram yang tidak ada habisnya sehingga saya jadi terlalu manja untuk mau membuka halaman buku satu-persatu demi mendapatkan intisarinya.

Well, karena kemampuan membaca yang menurun namun dorongan impulsif untuk membeli (baca: menimbun) buku sudah semakin akut di diri saya (sedikitnya masih ada sembilan buku baru yang belum terbaca di lemari) maka saya paksa diri saya menamatkan salah satunya, yang mana sebenarnya hanya saya jadikan alasan untuk menunda tugas-tugas kuliah aja sih. Hohoho.

 

Main Story

Buku pertama yang saya baca sampai habis di tahun ini lumayan istimewa. Siapa yang tidak tahu cerita Peter Pan? Saya rasa semua orang, minimal yang punya tipi di rumah, pasti tahu. Peter Pan si bocah dari Neverland yang tidak bisa tumbuh dewasa, yang menghabiskan waktunya dengan bermain-main bersama Tinker Bell si peri cemburuan dan bertarung dengan perompak-perompak tolol, kemudian berkeliaran di langit London dan menjerumuskan kakak-beradik Darling untuk bertarung melawan kapten Hook bersama-sama The Lost Boys di negeri Ajaibnya. Begitu versi Disney.

Lho? Iya, versi Disney. Karena setelah saya baca buku ini, ternyata bukan seperti itu naskah Peter Pan yang ditulis author aslinya, J. M. Barrie. Cerita Peter Pan yang asli lebih kelam, lebih jahat, lebih berdarah-darah, dan Peter Pan si bocah ganteng-jahil-jago berantem seperti yang kita ketahui aslinya adalah bocah licik kejam yang suka menculik anak-anak dari dunia manusia dan memanfaatkan mereka untuk bertarung dengan musuh-musuh perompaknya.

Sisi kelam cerita inilah, yang kemudian direkonstruksi Brom sedemikian rupa dalam versinya sendiri.

Sedikit sinopsis, The Child Thief mengambil sudut pandang seorang anak manusia, Nick namanya, dengan segala ketidakberuntungan hidupnya, hampir terbunuh oleh musuh-musuh pengedar narkoba di sekelilingnya sebelumnya akhirnya diselamatkan Peter, meski dengan cara lumayan berdarah-darah. Peter kemudian memikat Nick secara halus untuk pergi bersamanya ke Avalon, negeri muda abadi tempat faerie, elf, dan para monster hidup berdampingan. Merasa dunia manusia bukan tempat aman untuknya lagi, Nick mengikuti Peter melewati kabut yang membatasi Avalon dan dunia Manusia, tanpa tahu bahwa agenda yang disembunyikan bocah itu untuknya jauh sadis dan berbahaya dari kelihatannya.

Satu yang sangat notable bagi saya di buku ini adalah worldbuilding-nya dan bagaimana penulis mampu menyambung-tempel, gunting-jahit, dan tambal-menambal antara khayalannya sendiri, dengan gubahan dari cerita asli J. M. Barrie dan mitologi-mitologi yang ada.

Di awal saya seperti membaca Eragon. Ya bukan karena ceritanya mirip Eragon juga sih, tapi klisenya macam-macam itulah. Kemudian beralih seperti membaca Narnia, kemudian ke The Lord of The Ring, lalu lompat serial Salem (series tentang penyihir-penyihir Essex di Salem, silakan gugling kalau mau tau), kemudian—nah, ini paling absurd—ke film The God Must Be Crazy (atau setidaknya, itulah yang saya pikirkan ketika kawanan sang kapten yang berasal dari abad ke-18 terheran-heran dengan elevator dan pintu putar di abad 21).

Brom menggunakan folklore-folklore Old England dan menyatukannya dengan sifat-sifat asli Peter Pan serta imajinasinya sendiri untuk membuat sebuah cerita yang utuh. Maka tidak heran kalau di buku kita akan menemui Avalon, yang dalam kisah celtic berhubungan dengan excalibur, King Arthur, dan para ksatria meja bundarnya (ayolah, saya pikir semua orang sudah tahu cerita ini, kecuali saya mungkin), Dewa bertanduk, Tangnnost si kambing Dewa Thor, dan kaum puritan lengkap dengan kefanatikannya.

Yang menarik adalah, hasil sambung-tempel ini terasa sangat halus sekali. Saya tidak merasa cerita ini merupakan hasil pembajakan dari Narnia-campur-The-Lord-Of-The-Ring karena twist dan flashback-flashbacknya cukup masuk akal untuk menjelaskan kenapa Peter Pan tidak bisa menua, kenapa Avalon tidak bisa terlihat di dunia manusia, kenapa para perompak dan kaptennya bisa jadi jahat, dan kenyataan bahwa tau-tau ada elf muncul segala di cerita, saya sih oke aja asalkan plotnya sudah terpoles rapi.

Walaupun karakternya sangat kurang notable sih, bagi saya pribadi sayang sekali. Seharusnya dengan setting dan plot yang sudah disusun sebegitu lengkapnya, akan lebih seru kalau emosi tokoh-tokohnya dilibatkan semakin dalam, nyatanya yang saya anggap karakterisasinya paling ‘kena’ hanya dua tokoh: Peter dan Nathan. Lalu Nick? Nick siapa? Ada yang namanya Nick? Ah, sudahlah.

Satu yang paling saya sukai, penulis sepertinya tidak terjebak dengan stereotip khas dari cerita Peter Pan yang sudah banyak beredar. Terbukti bahwa figur seorang dengan kaki kayu dan tangan kait ala Kapten Hook di sini ternyata hanyalah pemeran tidak penting yang mati sambil lalu, dan Tinker Bell pun tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Bravo.

Walau pun di akhir cerita saya agak hopeless karena sepertinya tokoh-tokoh manusia ‘betulan’ di dunia manusia ini seperti dilenyapkan begitu saja eksistensinya saat pertarungan antara The lost Boys, kawanan sang Kapten, dan Ulfger (maksud saya, kemana perginya SWAT dan CIA ketika pertempuran makhluk-makhluk bertanduk melawan anak-anak kecil dan bangsa Elf tiba-tiba meletus di taman New York?) yang mana merupakan plot hole SANGAT BESAR buat saya.

Tapi berhubung cerita sepanjang hampir seribu halaman ini nggak membuat saya bosan sama sekali (saya perlu beri apresiasi juga bagi sang penerjemah, dengan gayanya yang rada ‘bold’ di awal tapi kembali jadi mainstream lagi di akhir, tapi gapapa) saya rasa bintang empat cukup lah.

Bravo Mr. BROM, karena sudah membuat saya penasaran mau baca karya asli dari James Barrie ★★★★

 

Epilogue

Anyway, seharusnya sekarang saya lagi nulis paper untuk tugas biokimia, bukannya nulis review novel fantasi.

My Writer Side

January Book Mini-Haul

Prologue

My loves for shopping art supplies is always a big one, and somehow now it goes for clothes and shoes too. But guess I always genuinely a nerd person inside so this impulsive disease for buying (and hoarding) books is undefeated.

Now that my books been borrowed by some of friends, I find my bookshelf kinda less densed than ever and somehow makes me feels having not enough book supplies. So I went bookstore this afternoon after the class (YES, I have classes on SUNDAY).

GOOD NEWS: I found this books in such a great deal of price, not even half of the actual price was! And I had to struggle for not buying too many (Thanks God I didn’t bring enough cash LOL).

 

Main Story

1. The Child Thief by Brom

rps20160124_230925_723

 

2. The Magic Thief by Sarah Pineas

rps20160124_231114_473

 

3. The Wonderful Wizard of Oz by L. Frank Baum

rps20160124_231139_179

 

Will eat (you what I mean huh?) all of these as fast as I can, stay tune for the reviews! ❤

Epilogue

Still feel like to buy Nightshade and Black Beauty though, maybe I should come again to the bookstore tomorrow?

Bahasa · My Writer Side

Book Review : The Night Circus

17563814

Tittle : The Night Circus
Author : Erin Morgenstern
Translator : Berliani M. Nugrahani
Publisher : Mizan, Januari 2013
Pages : 610 pages

Buku termahal yang saya beli di Jakarta Book Fair kemarin, (iya termahal, cuma 30K :D). Actually I was finished it kinda soooo yesterday, tapi saya lagi mood jadi akhirnya saya review juga.

The Night Circus bercerita tentang sebuah sirkus ajaib, mengagumkan, mempesona yang datang tanpa pemberitahuan di mana saja, kapan saja, dan hanya dibuka mulai matahari terbenam hingga terbitnya. Berbeda dengan yang terlihat oleh para pengunjung sebagai sirkus dengan tenda-tenda ajaib, atmosfer seperti dunia mimpi, dan penampil sirkus laksana penyihir imajinasi, pada kenyataannya sirkus tersebut adalah ajang sebuah permainan berbahaya. Celia dan Marco adalah dua orang yang ditakdirkan untuk bertarung satu sama lain melalui sihir dengan samaran trik sulap dan ilusi. Namun ketika kedua lawan yang seharusnya saling menjatuhkan itu malah kemudian saling jatuh cinta, bukan hanya nyawa mereka berdua, tapi nyawa semua orang dipertaruhkan di sana.

Satu hal yang menarik saya untuk mengincar (dan akhirnya kebeli juga yaaaayy!!) buku ini adalah nama sirkusnya, Le Cirque des Reeves, yang KEBETULAN juga adalah nama yang saya pakai untuk cerita saya tentang sirkus dengan si cebol sebagai tokoh utamanya. Sangat menyedihkan sebetulnya, karena saya keduluan (walau dalam kasus ini, yang duluan terbit emang buku ini sih, tapi saya kan taunya belakangan T_T, COME ON!! MASA SAYA MESTI NGALAH TERUS NGUBAH NAMA SIRKUS SAYA SEEH??).

Saya sukaaaaa sekali covernya. Metalic red, my favorite kind of red, dengan motif awan-awan Akatsuki di situ. Walau pun setelah melihat sampul aslinya, bagus juga. Ya sudahlah sama-sama bagus kok.

Me kinda likey the characters. Walau pun masih jauh lebih kuat karakterisasi Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata, tapi saya suka gagasan memadukan kemisteriusan, kekuatan, dan keajaiban secara elegan di tiap tokoh. Agak kurang variasi sebetulnya. Mereka unik dan kuat, namun hampir mirip. Tak ada yang benar-benar stand behind or ahead, tapi mungkin ini semacam kriteria yang diinginkan sirkus ya, bolehlah. Saya jatuh cintaaaaa sama tokoh Poppet dan Widget. They just seems like Kagamine Len and Rin twin for me!! But of course with red hair and non-singing ability and they live in circus.

credits: by chiki5542.devianart.com
credits: by chiki5542.devianart.com

Alurnya campuran, dan agak sulit dicerna juga sebetulnya karena tidak ada efek ‘future’ atau ‘past’-nya serta tahun yang tertulis di tiap awal bab sangat mudah terlupakan. Dan lumayan lambat, oke, kalau boleh dikatakan, malah lambaaaaaaaaat sekali (saking lambatnya saya takut keburu tua =_=). Tapi penggambaran settingnya oke. Benar-benar terlihat penulis punya bayangan solid tentang sirkus tersebut dalam pikirannya. Bahkan mungkin banget dia sudah punya model cetak biru nyata dari Le Circue De Reeves itu sendiri.

Yang mengagumkan (dan rada menyebalkan juga, sebetulnya), adalah cara penyampaian ceritanya yang sangat membully pembaca, terutama di bagian dialog. Bukan tipe penyampaian yang dapat dipahami jika otak kita sedang tidak pada tempatnya. Penuh ungkapan, idiom, metafora, dan secara tidak langsung mengandung banyak arti tertentu yang sangat menentukan kelangsungan cerita. Makanya seringkali sambil bersungut-sungut saya terpaksa baca ulang bagian-bagian tertentu (otak saya emang suka minggat seenaknya =_=) untuk bisa mengerti apa maksud perkataan si tokoh.

Lalu, dear pembaca yang budiman, don’t be fool by the synopsis. Kalo baca di sinopsis, ceritanya cuma bakal seputar cinta terlarang or something, tapi begitu membaca isinya, aslinya sangat-sangat rumit. Berkaitan tiap halaman ke halaman dengan begitu banyak tokoh, latar, konsep, dan emosi yang dilibatkan. It’s not recommended for people who are easy-reader, anda bisa migren setelahnya.

Ada satu lagi yang mengagumkan buat saya. Sepanjang ingatan saya, melahap banyak cerita fantasi yang berbeda, baru pertama kali saya temukan yang seperti ini. Logikanya nyata, jelas, benar-benar masuk akal, believable, acceptable. Bahkan lebih logis dibanding cerita non-fantasi mana pun yang pernah saya baca. Premisnya bukan hanya A → B, A → C, C → D, seperti kebanyakan. Melainkan secara berurutan A → B, B → C, C → D, D → E, sehingga tidak D → tidak E, tapi tetap A → D. Macam itulah. Agak rumit, tapi sangat amat logis sekali. Dan saya suka pengeksekusian akhirnya, dengan prinsip Bailey as not-the-chosen-one-but-anyone-can-be. It’s special.

It’s kinda book-hangover after I put this book down due to finished. Atmosfer sirkusnya masih terbawa-bawa, berikut penampil-penampil sirkusnya, walau pun Bailey agak mudah dilupakan. Mungkin kalau Le Cirque des Reeves ada di dunia nyata, saya juga akan menjadi Reveurs.

So, how many stars? Walau agak confusing but it’s too beautiful and genius to be true. Say ★★★★★ of ★★★★★! See a good job Mrs. Erin Morgenstern!! 😀

My Blabber Side · My Writer Side

Goodreads Tag and Book Review Competition

So that when I currently had my blog-walking, I found this interesting tag on a beautiful blog here. I never tagged anything by anyone before here on the blog (tragic) so I think it’s gonna be fun! Just check it out guys!

What was the last book you marked as read?

Wicked 3: Legacy, which is the last part of Wicked trilogy written by Nancy Holder & Debbie Viguie (Well, it’s actually more than ‘trilogy’  but in Indonesia, it just three of them 😦 ). I fall in love with this sequel because Wicked 1: Witch it’s so….. how I gonna describe it? Dark, cold, cruel, but in the same time, echanted. So my typical of fantasy story (dreamy-fluffy-sugary fantasy is ABSOLUTELY not me). BUT (beware the capslocked ‘but’ here) I thought Wicked 2: Curse not leave me the same impression and so do Wicked 3. It’s feel so not well-builted. Not a massive dissapoint actually, but it’s not fulfill my so-so expectation.

What are you currently reading?

Actually, I’m still working on my practical exams so I don’t have much spare time. But there’s one book I have not finished yet, it’s the first book of Minamoto no Yoritomo by Eiji Yoshikawa. I’m about three-fourth to reach the end but I thought Wicked would be more ‘light’ on my chaotic mind that time so I just leave it just like that. Maybe I would finish it if I have such a time… yes?

What was the last book you marked as to read?

In the Goodreads? Well it written Flowers in the Attic by V.C Andrews, which I actually have no idea what and who. Maybe it automatically added when I join a free giveaway?? o___o

What do you plan to read next?

There are some of my haul from Jakarta Book Fair that still plastic sealed, and after sucha’ eenie-meenie-miney-moe-ing so hard (I can’t choose one! I love all of them and I want to read all of them on the same time! Crazy enough!) I think I would like to read WolfSangel by M. D. Lachlan.

BUT. Again.

When I visited my auntie home to search a peaceful spot to study last week, I found Musashi and Taiko by Eiji Yoshikawa which is shocked me. I was like “EEEEHHHHH??????!! WHAT IS IT??? WHY DON’T YOU TELL MEEEEE????!!!!”

So, well, I think I still cannot decide one among three of that. Poor me.

Like Frank Zappa said “Too many books, so little time.”

Do you use the star rating system?

Honestly I love to use number system more in the scale of 0 to 10. But, it’s kinda bothersome to convert it into stars when I rate on Goodreads, so I start to make myself used on star system. (Which is I still don’t like it yet)

Are you doing a 2014 reading challenge?

Of course! What funny is, I use my age as my goal number! Haha! So it’s 20 books this year! Actually my reading speed is, well, sonic-speed, if I may said. But since I’m entered the college that seems doesn’t want to provide enough spare time for me, I can merely finish 300-pages book in two weeks or more! See how lame! That’s why I can’t fulfill last year’s challenge.

But I’m not a person who stick on the target like that thus don’t really intend to push myself so hard to reach that 20-books goal so I will just read anything and anytime I want with freedom! Heheheh… (Cih, lazyass… -___-)

Do you have a wishlist?

Before starting, I warn you that it will be a loooooong answer. To be honest, almost the best part of my wishlist had I got in later Jakarta Book Fair. But, well, my wishlist is countless, with SO-SO price and I’m just unemployed student with so-so wallet. So this is would be the most-wished-among-those-wished-books. Honestly I want to make it Top Five, but I can’t helped so it would be Top Six books…

Actually I’m not really into The Hunger Games trilogy since the first time I read the first book. It has too peculiar concept and so illogical and somehow it unacceptable by me. BUT, when I watch Catching Fire, I OBSESSED by Peeta-Katniss love story. So I think it maybe worth to buy the last of trilogy just for it.

Like what I always said: Katniss-Gale is SUCK. Katniss-Peeta RULE THE WORLD!

There’s something funny about  it. One day when I’m in public transportation, there’s a guy next to me currently read this book, on the first chapter. So sneakily I join him to read (of course he didn’t know!) and how I amazed by just read a little part of it. Afterwards, I might just reach half of chapter when suddenly he close the book and move to the other chair. It soooo broke my heart! So I promise myself to buy that books someday! Which still not came true until today. Heheh (PITY)

  • Dracula by Bram Stoker

This could be my forever-wishlist item. I want it sooooooo bad since I’m still on Junior High, and I can’t say how glad I am when it’s finally pressed on the new cover by Gramedia (which the cover is sooooo beautiful) and when I had enough money to buy it, it was SOLD OUT.

TRAGEDY.

Am I the only one who catched by the comical side and freshness of this book? I don’t need to explain a long reason. I just want it. I.WANT.IT.SO.BAD. Aposhthrope!

I think I need such this motivational book. I’ve read it a little in the bookstore when I’m about to buy another book so I end up bought that ‘another’ but I leave with a strong will that I would buy this book ASAP.

Still, it’s about fashion design. I search through the internet whether I could find a good reference book of fashion design and so much people in fashion design study recommended it. But since it still not available in Indonesia, I have to buy it through Amazon with the high shipping price! Geez!!

What book do you want to buy next?

I don’t know! I still on the dilemma! Maybe one of those above to tickling at least one of my wishlist. (Or should I wait for the next Jakarta Book Fair? Heheh 😀 )

Do you have any favourite quotes?

I do. A lot. But I usually forget it when I finish the books so guess I can’t serve you anything. Sorry…

Who are your favourite authors?

For a local author, I love Poppy D. Chusfany. Because first time I know her is when I’m still in Junior High School and that time, bookstore dominated by teenlit and chicklit so fantasy still not popular like these days. But she is the one who ensure me that fantasy can works here in Indonesia. And it does! You can see by the huge number of fantasy books here on the bookstore. Even, I’ve had talked to her about fantasy and she gaves me a nice link to a best-ever Indonesian fantasy groups!

And the rest, I don’t really pay attention on the author. Just the book. But my best author ever is Roald Dahl, Charles Dickens, and Lewis Caroll. And of course, the one and only my master, Edgar Allan Poe. Well, classic author is timeless and unbeatable.

Have you joined any groups?

I DO! Like I’ve said before, it is Le Chateau de Phantasm. A local fantasy writer groups that through there, I learn A LOT, I grown A LOT, I ‘upgraded’ A LOT, I could be a more more and more better writer that I’ve ever had. Still, I’m an amateur writer who have a lot to learn, but LCDP such one of best parts of my life. I swear!

 

So that’s my Goodreads tag! Hope you enjoyed it and PLEASE, not to fall on sleep (:P )

I tagged all of YOU to do it and please link down below on the comment!

Ah, one more! I currently join Book Review Competition on Bookoopedia

banner-lomba-resensi

So here are my reviews.

  1. The Inventions of Hugo Cabret

  2. Wolf Totem

  3. Sang Pemimpi

  4. The Da Vinci Code

Please share on Twitter or like it on Facebook or GoogleMail!

Thank yooouuu! 😀 😀 😀

My BEM-J SIde · My Blabber Side · My Writer Side

Life Saver

Anyway, amid my meeting-after-meeting-after-meeting rush as a part of campus council (which I enjoyed far more than my duties as a chem and pharmacy student), grateful for given chance to becoming myself by doing what I want to do at least once per week. Like foolhardy book hunting. Now that I’ve been run out the place to put my books on, thanks to my bibliophyl disease for I bought even more.

1

‘ve been craving for The Da Vinci Code by Dan Brown after watching Angels and Demons. Thus (un)lucky me to find second series of Wicked to buy right away, and able to hold myself on buying the third series of it (Saved for the next month, suggest?).

My Blabber Side · My Writer Side

Twist of Reality

Everytime I wake up and recall the recent dream, it’s always about the real life. MY real life. With the real person I knew, real place I used, real activity I did. No more absurd things, no more delusion, no more fantasy. My subconscious mind had authorized by the reality. Guess I not used to blowminding anymore. I just… don’t have enough time.

It frightens me that someday I might lost my imaginity. My treasure ability.

NB: Today I dropped by Books & Beyond bookstore and I bought this.

DSC03260compress

Actually I don’t know why I bought this. It felt like I was think about something else and didn’t really had my mind setted on. Can’t stop asking me why I paid for and brought it home. Pray for it be a good book, hey?

Bahasa · My Writer Side

Book Review : Princess, Bajak Laut, & Alien

19545032
Title : Princess, Bajak Laut, & Alien
Author : Clara Ng & Icha Rahmanti
Pages : 355
Publisher : Plotpoint, November 2013

Had been a while since my last book review, it isn’t? Sebenernya udah dari lama saya beli buku ini, but feels like my campus life took all of my own life thus I’m not allowed to have quite space in my mind to think about what I actually want to (Curcol, maap ( ̄~ ̄;)) Jadi mumpung saya punya jumat-sabtu-minggu kosong (di mana hal ini sangat-sangat-sangat-sangat jarang sekali terjadi) and I’m not in mood to go anywhere, why not saya babat semua buku yang belum terbaca?

First time I saw the cover of this book di goodreads, twitter, dan beberapa toko buku online, I was like, “OMG.I.MUST.HAVE.IT.” I mean, look at the addddddorable cover! Well, walau memang bukan yang utama, desain cover selalu jadi salah satu pertimbangan saya dalam memutuskan buku yang ingin dibaca. Heheheh. Kedua, saya tertarik dengan nama penulis yang tertera. Well, I don’t really know Icha Rahmanti TBH, but I had read Clara NG fantasy novel such as Malaikat Jatuh and Jampi-Jampi Varaiya and I LOVE IT. So I thought, why not give this book a try, eh?

Buku ini terbagi menjadi tiga ‘kitab’. Kitab Princess, Kitab Bajak Laut, dan Kitab Alien. Masing-masing dengan pelaku utama, fokus cerita, dan alur yang berbeda. Kitab Princess bercerita tentang Mikal, seorang bocah lelaki yatim yang ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan motor. Suatu hari akibat seseorang bernama Buto, Mikal terperangkap dalam sebuah dunia aneh bernama Son Nokta, di mana ia bertemu Princess dan Troy. Kitab Bajak Laut bercerita tentang masa lalu Agung alis Buto, si orang cebol yang nantinya menjebak Mikal ke dalam Son Nokta lewat sebuah kaleidoskop. Sedangkan Kitab Bajak Laut bercerita tentang masa lalu dan ingatan Troy hingga akhirnya ia terperangkap di Son Nokta, menciptakan Princess, dan bersama-sama mencari jalan keluar dari dunia itu bersama Mikal.

Characters, Plot, Writing, I decided to review it random, okay? Berhubung ini ditulis oleh dua penulis, saya nggak begitu tau gimana sistem mereka. Gantian bab per bab-kah, atau rushing-and-kicking-out together in same time-kah, so, komen saya akan mengesampingkan hal itu.

Kitab pertama, it’s quite reminds me of Alice in Wonderland. Rasanya seperti loncat kesana-kemari dalam lingkup keajaiban yang lebih darkish. But in the same time, rasanya juga seperti mengendarai mobil yang koplingnya diangkat kecepetan. Tersendat-sendat. Saya nggak tahu apakah ini efek fase awal di mana penulis sedang berusaha menyesuaikan diri dan mencari tempo yang tepat atau sedang kebanjiran ide sehingga susah mengontrolnya atau gimana. Tapi perpindahan dari gestur ke gestur, adegan ke adegan, pikiran ke pikiran, semuanya masih belum mulus. Beberapa deskripsi malah membuat saya lost and have no idea. Seakan-akan penulis sudah mempunyai bayangan keren yang sangat-sangat jelas di pikirannya. Tapi saking kerennya malah susah menuangkan dalam bentuk kata-kata sehingga deskripsi malah jadi nggak jelas buat pembaca. Sangat disayangkan sebenarnya, mengingat Kitab pertama ini adalah stage dasar untuk keberlangsungan cerita ke depannya.

Kitab kedua, well well well. Terlepas dari apakah ditulis oleh orang yang sama atau tidak, penulis rasa-rasanya sudah menemukan temponya so it flowing crunchy with bitter-happy-sad-tragic twists. Kalau boleh dikatakan, mungkin Kitab inilah yang alurnya paling mudah diikuti dibanding dua lainnya. Detail, plot, karakterisasi, dan twistnya juga mudah dimengerti. Ada beberapa logika yang miss, tapi saya terlalu malas untuk membahasnya satu persatu jadi mari kita tinggalkan saja. OOT, to be honest, kitab ini sedikit mematahkan hati saya. Sebab saya punya cerpen belum kelar tentang orang cebol yang juga bekerja di sirkus dan juga menjadi bulan-bulanan. It’s like… Oh my God I’m losing the first step…(╥_╥) (curcol lagi, maap.)

Kitab ketiga basically my favorite among all. Karakter Troy, Gwen, dan Mikal terbentuk sempurna di sini, and not to tell benang-benang merah yang mengurai dari bab-bab sebelumnya mulai mengait jelas serta efek Alice in Wonderland yang membawa kita berteleportasi dari satu tempat ke tempat lain. Saya juga selalu suka teknik permainan flashback di main twist. Walau, yeah, jujur saja saya sebenernya mengharapkan penyempurnaan worldbuilding Son Nokta, tapi ternyata hal itu tidak terjadi. So anggap saja Son Nokta memang dunia abu-abu tanpa logika nyata dan nggak perlu dipertanyakan detail demi detail.

Epilog. Err…. jujur aja sih, sebenernya saya ngga terlalu nangkep gimana endingnya. Kesannya seperti banyak dimensi berbeda disatukan di sini. Buto dengan badut-penghibur-yang-bahagia, Mikal dengan pembaharuan-hidup-setelah-ayahnya-meninggal, Troy dengan kembali-ke-masa-kanak-kanak-bersama-Gwen, dan (yang ini yang saya masih nggak ngerti apa fungsinya) Iqbal-dan-Salsa-yang-masih-dalam-perjalanan-ke-rumah-Nenek. See? Beberapa dimensi waktu berbeda dipasangkan secara bersamaan.

Sasarannya anak-anak, tapi saya cukup ragu anak-anak bakal menikmatinya tanpa menanyakan banyak hal. Sudah dibuat filmnya, dan saya bertanya-tanya bagaimana cara memvisualisasikan dimensi-dimensi istimewa buku ini ke dalam film Indonesia yang kualitas efeknya, you know lah… A bit curious about the film, but don’t have any intentions to go forward it.

Even though ketika selesai membaca ini, tak membuat saya lantas lompat ke satu demi satu gelembung imajinasi seperti kebiasaan saya jika selesai membaca buku fantasi yang amazing, saya cukup terkesan dengan keberanian penulis meramu cerita berkonsep surreal-gothic, melakukan permainan dengan twist, karakterisasi yang istimewa (in this book, Gary Stu and Mary Sue JUST A DREAM, FOLKS ヽ( ★ω★)ノ), dan setting dunia yang out-of-the-box.

Tunggu, apa saya udah bilang tentang ilustrasi yang banyak muncul di buku ini? AAAAAAA!! Adorable, bubbly-fluffy drawing!! I.HEART.IT. Saya rasa ilustrasi menjadi faktor yang sangat berperan penting bagi saya dalam memberikan rating buku ini.

★★★ of ★★★★★. That’s for now. Just let see whether If I put the stars up if I could (finally) understand the whole plot, okay?

My Blabber Side · My Writer Side

The-Nerdie-and-The-Books Love story

I came to Kazu’s house this day and borrow (despite the amount of books, it’s could be called as rob, actually hehe :P) soooooo many books that my ransel felt like about to torn XD

I intend to borrow some good romance and metropop books that I usually had no intention before, but felt like these day. But I can’t stop myself yelling over the children classic books and fantasy too, so I end up borrow here and there! Hohoho.. \(@ ̄∇ ̄@)/

Welcome to da' club, sweetie ❤
Welcome to da’ club, sweetie ❤

And I confused by choose what to read first. Should I start it with some of the white rabbit and tea party?

Image010

Bahasa · Uncategorized

Alice in Wonderland (Translated by Me)

Due to my hope and goal to becoming fantasy novel translator, I just trying to translated one of fantasy ebook in my folder. Phew, sorry, not good enough… Still wondering whether I must continue translating it or not. But I found it pretty interesting though!

Happy reading~! ^^

 

 

CHAPTER I.

Terjun ke dalam Lubang Kelinci

 

Alice sedang duduk di tepi sungai bersama saudara perempuannya hingga ia bosan. Sekali dua kali ia melirik pada buku yang saudaranya pegang, namun tak ada gambar di dalamnya.

“Dan apa gunanya buku yang,” pikirnya, “tak bergambar?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.

Hari yang panas ini membuatnya bosan. Mungkin akan lebih menyenangkan jika ia bangkit dan memetik beberapa bunga daisy lalu merangkainya. Saat itulah ia melihat seekor kelinci putih dengan mata merah muda berlari di dekatnya.

Itu tak akan menjadi hal yang aneh, dan Alice pun tak akan terlalu memikirkannya jika ia tak mendengar si Kelinci berkata, “Ya ampun! Ya ampun! Aku akan terlambat!” sambil mengeluarkan sebuah arloji dari dalam kantungnya dan melihatnya dan kemudian berlari.

Alice berdiri, ini pertama kalinya ia melihat seekor kelinci dengan sebuah arloji. Alice lalu melompat dan berlari mengejarnya tepat saat kelinci itu melompat ke dalam lubang besar di dekat semak-semak.

            Secepat mungkin, Alice mengejarnya ke lubang itu dan tak berhenti untuk berpikir dunia macam apa yang ia masuki. Lubang itu menukik dengan lurus kemudian menikung dengan tajam. Begitu tajam hingga Alice tak punya waktu untuk berpikir hingga ia menyadari dirinya jatuh ke dalam sesuatu seperti liang yang sangat dalam.

            Ia mungkin tak bergerak cepat, atau liang itu pastilah sangat dalam hingga membutuhkan waktu lama untuk jatuh ke bawahnya hingga memberinya waktu untuk melihat benda-benda aneh yang dilaluinya.

            Pertama-tama ia mencoba melihat ke bawah liang untuk melihat apa yang ada di sana, namun terlalu gelap untuk dapat melihat apa pun. Lalu ia memandang ke sisi liang dan melihatnya tersusun dari rak-rak buku. Di sana-sini ia melihat peta dipancangkan oleh paku-paku. Ia mengambil salah satu kendi dari rak yang ia lalui. Terdapat bacaan ‘selai’ di luarnya, namun tak ada selai di dalamnya hingga ia pun menaruhnya kembali pada rak selanjutnya yang ia lalui.

            “Yah,” pikir Alice pada dirinya sendiri, “setelah jatuh seperti ini, aku tak keberatan sama sekali jika jatuh dari tangga. Pasti mereka yang ada di rumah berpikir betapa beraninya aku! Aku tidak akan mengatakan apa pun jika aku jatuh dari atas rumah.” (Yang mana aku berani katakan hal itu benar)

            Turun, turun, dan turun. Kapankah akan berakhir?

“Aku ingin tahu,” ia berkata, “sudah seberapa jauh aku jatuh? Apakah aneh jika aku terjatuh ke dalam bumi dan keluar dari tanah di mana orang-orang berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah?”

            Turun, turun, dan terus turun.

“Dinah akan merindukanku malam ini,” Alice berkata lagi. (Dinah adalah kucingnya). “Aku berharap orang-orang di rumah tak lupa memberinya susu di waktu minum the. Oh, Dinah sayang! Aku berharap kau ada di bawah sini bersamaku! Tak ada tikus di sini, tapi kau dapat menangkap kelelawar, dan rasanya seperti tikus, kau tahu? Tapi, apakah kucing makan kelelawar?

            Lalu saat tiba waktu tidur bagi Alice, ia bermimpi sedang berjalan bersama Dinah dan ketika ia bertanya “Dinah, katakan padaku sekarang, apakah kau memakan kelelawar?” pada saat bersamaan, duk! Duk! Ia jatuh terjerembab di tumpukan ranting dan daun kering. Ia segera berdiri dan melihat ke atas, namun terlalu gelap. 

            Di ujung sebuah ruangan besar di depannya, kelinci itu masih terlihat. Tak ada waktu lagi, sehingga Alice pun segera mengejarnya tepat saat kelinci itu berkata, “Oh, demi telingaku, betapa terlambatnya aku!” lalu ia menghilang dari pandangan.

            Kini Alice mendapati dirinya berada di sebuah ruangan besar yang panjang dengan langit-langit rendah tempat tergantungnya deretan lampu-lampu bercahaya. Ada pintu di tiap sisi ruang itu, tapi ketika Alice berkeliling dan mencobanya satu persatu, semuanya terkunci. Ia kembali berjalan dan berputar dan mencoba berpikir bagaimana caranya ia dapat keluar. Kemudian ia mendapati sebuah pilar yang terbuat dari kaca. Terdapat sebuah kunci kecil yang terbuat dari emas di atasnya dan Alice berpikir pastilah itu kunci dari salah satu pintu yang ada di ruangan besar tadi. Tetapi ketika ia mencobanya pada tiap lubang kunci, disadarinya lubang-lubang itu terlalu besar atau kunci itu yang terlalu kecil—hingga tidak cocok dengan satu pun lubang yang ada.

Tetapi ketika kembali mengelilingi ruangan itu, ia menemukan sebuah tirai yang tak ia lihat sebelumnya, dan ketika ia menyingkapnya, ditemukannya sebuah pintu kecil, tingginya tak lebih dari satu kaki. Ia pun mencoba kunci itu pada lubangnya dan syukurlah kunci itu cocok!

            Alice mendapati pintu itu menuju ke sebuah ruang sebesar lubang tikus. Ia berlutut dan dari sana, dilihatnya sebuah taman dengan bunga-bunga cerah. Betapa inginnya ia keluar dari ruang gelap dan berada di taman indah itu, tapi bahkan kepalanya pun tak dapat melalui pintu kecil itu.

“Dan jika kepalaku dapat keluar pun,” pikir Alice, “tak akan ada gunanya. Sisa tubuhku masih terlalu besar untuk dapat keluar. Oh aku sungguh berharap tubuhku dapat mengecil! Sepertinya bisa jika saja aku tahu caranya.”

            Tak ada gunanya hanya berdiam diri di sana, sehingga ia kembali ke pilar tadi dengan harapan dapat menemukan kunci untuk pintu-pintu yang besar atau mungkin buku yang berisi petunjuk bagaimana cara agar ia dapat mengecil.

            Namun kali ini ia menemukan sebuah botol kecil di atasnya. (“Yang aku yakin tak ada di sini sebelumnya,” kata Alice). Dan pada leher botol itu tergantung sebuah kertas dengan tulisan “Minum aku”.

            Memang tulisannya “Minum aku,” tapi Alice terlalu bijak untuk langsung melakukannya. “Tidak, aku akan melihatnya dulu,” ia berkata, “kalau-kalau ada tanda ‘beracun’ atau tidak.” Karena ia yakin jika kau minum dari botol yang bertanda ‘beracun’ maka kau pasti akan sakit.

            Namun tak ada tanda itu di botol ini sehingga Alice memberanikan diri untuk mencobanya dan mendapati rasanya enak (seperti campuran antara pie, es krim, bebek panggang, dan roti panggang hangat), dengan cepat ia pun meneguknya hingga habis.

“Aku merasa aneh.” Ujar Alice setelah itu. “Aku yakin aku tidak sebesar sebelumnya!”

Dan memang itu yang terjadi. Tingginya kini tidak lebih dari satu kaki dan wajahnya mengecil hingga ukuran di mana ia dapat melalui pintu kecil itu dan keluar menuju taman yang indah tadi.

            Tetapi, malangnya Alice! Ketika ia menghampiri pintu, ia menyadari sudah meninggalkan kuncinya di atas pilar dan ketika ia kembali untuk mengambilnya, ia tak dapat meraihnya. Ia dapat melihatnya dari balik kaca dan berusaha sebisa mungkin memanjat salah satu kaki pilar, namun terlalu licin dan ia sudah terlalu lelah. Yang bisa ia lakukan hanya duduk dan menangis.

            “Ayolah, tak ada gunanya menangis seperti ini!” Alice berkata pada dirinya sendiri setegas mungkin. “Aku memerintahkanmu untuk diam!”

            Kemudian pandangannya jatuh pada kotak kaca kecil yang tergeletak di lantai. Ia melihatnya dan mendapati sebuah kue krcil dengan tulisan “Makan aku” tercetak di atas anggur-anggurnya.

            “Baiklah, aku akan memakannya.” Kata Alice. “Jika ini membuatku membesar, aku dapat menggapai kunci itu dan jika ini membuatku mengecil, mungkin aku dapat merangkak keluar dari bawah pintu-pintu hingga aku dapat mencari jalan lain.”

Lalu ia pun memasukkan seluruh kue itu dalam mulutnya.