Author: Brom
Translator: Tanti Lesmana
Publisher: Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2012
Pages Count: 936 Pages
Prologue
Kapan terakhir saya ngepost review dan buku apa yang terakhir saya review di sini? Saya bahkan nggak ingat lagi saking lamanya. Truth to be told bahwa kemampuan membaca saya makin lama makin menurun drastis. Kadang saya menyalahkan dunia digital karena merasa sudah di-digitalisasi dengan media-media dan platform dunia maya, terbiasa mendapatkan informasi semudah 140 karakter di twitter dan sekrol-menyekroll instagram yang tidak ada habisnya sehingga saya jadi terlalu manja untuk mau membuka halaman buku satu-persatu demi mendapatkan intisarinya.
Well, karena kemampuan membaca yang menurun namun dorongan impulsif untuk membeli (baca: menimbun) buku sudah semakin akut di diri saya (sedikitnya masih ada sembilan buku baru yang belum terbaca di lemari) maka saya paksa diri saya menamatkan salah satunya, yang mana sebenarnya hanya saya jadikan alasan untuk menunda tugas-tugas kuliah aja sih. Hohoho.
Main Story
Buku pertama yang saya baca sampai habis di tahun ini lumayan istimewa. Siapa yang tidak tahu cerita Peter Pan? Saya rasa semua orang, minimal yang punya tipi di rumah, pasti tahu. Peter Pan si bocah dari Neverland yang tidak bisa tumbuh dewasa, yang menghabiskan waktunya dengan bermain-main bersama Tinker Bell si peri cemburuan dan bertarung dengan perompak-perompak tolol, kemudian berkeliaran di langit London dan menjerumuskan kakak-beradik Darling untuk bertarung melawan kapten Hook bersama-sama The Lost Boys di negeri Ajaibnya. Begitu versi Disney.
Lho? Iya, versi Disney. Karena setelah saya baca buku ini, ternyata bukan seperti itu naskah Peter Pan yang ditulis author aslinya, J. M. Barrie. Cerita Peter Pan yang asli lebih kelam, lebih jahat, lebih berdarah-darah, dan Peter Pan si bocah ganteng-jahil-jago berantem seperti yang kita ketahui aslinya adalah bocah licik kejam yang suka menculik anak-anak dari dunia manusia dan memanfaatkan mereka untuk bertarung dengan musuh-musuh perompaknya.
Sisi kelam cerita inilah, yang kemudian direkonstruksi Brom sedemikian rupa dalam versinya sendiri.
Sedikit sinopsis, The Child Thief mengambil sudut pandang seorang anak manusia, Nick namanya, dengan segala ketidakberuntungan hidupnya, hampir terbunuh oleh musuh-musuh pengedar narkoba di sekelilingnya sebelumnya akhirnya diselamatkan Peter, meski dengan cara lumayan berdarah-darah. Peter kemudian memikat Nick secara halus untuk pergi bersamanya ke Avalon, negeri muda abadi tempat faerie, elf, dan para monster hidup berdampingan. Merasa dunia manusia bukan tempat aman untuknya lagi, Nick mengikuti Peter melewati kabut yang membatasi Avalon dan dunia Manusia, tanpa tahu bahwa agenda yang disembunyikan bocah itu untuknya jauh sadis dan berbahaya dari kelihatannya.
Satu yang sangat notable bagi saya di buku ini adalah worldbuilding-nya dan bagaimana penulis mampu menyambung-tempel, gunting-jahit, dan tambal-menambal antara khayalannya sendiri, dengan gubahan dari cerita asli J. M. Barrie dan mitologi-mitologi yang ada.
Di awal saya seperti membaca Eragon. Ya bukan karena ceritanya mirip Eragon juga sih, tapi klisenya macam-macam itulah. Kemudian beralih seperti membaca Narnia, kemudian ke The Lord of The Ring, lalu lompat serial Salem (series tentang penyihir-penyihir Essex di Salem, silakan gugling kalau mau tau), kemudian—nah, ini paling absurd—ke film The God Must Be Crazy (atau setidaknya, itulah yang saya pikirkan ketika kawanan sang kapten yang berasal dari abad ke-18 terheran-heran dengan elevator dan pintu putar di abad 21).
Brom menggunakan folklore-folklore Old England dan menyatukannya dengan sifat-sifat asli Peter Pan serta imajinasinya sendiri untuk membuat sebuah cerita yang utuh. Maka tidak heran kalau di buku kita akan menemui Avalon, yang dalam kisah celtic berhubungan dengan excalibur, King Arthur, dan para ksatria meja bundarnya (ayolah, saya pikir semua orang sudah tahu cerita ini, kecuali saya mungkin), Dewa bertanduk, Tangnnost si kambing Dewa Thor, dan kaum puritan lengkap dengan kefanatikannya.
Yang menarik adalah, hasil sambung-tempel ini terasa sangat halus sekali. Saya tidak merasa cerita ini merupakan hasil pembajakan dari Narnia-campur-The-Lord-Of-The-Ring karena twist dan flashback-flashbacknya cukup masuk akal untuk menjelaskan kenapa Peter Pan tidak bisa menua, kenapa Avalon tidak bisa terlihat di dunia manusia, kenapa para perompak dan kaptennya bisa jadi jahat, dan kenyataan bahwa tau-tau ada elf muncul segala di cerita, saya sih oke aja asalkan plotnya sudah terpoles rapi.
Walaupun karakternya sangat kurang notable sih, bagi saya pribadi sayang sekali. Seharusnya dengan setting dan plot yang sudah disusun sebegitu lengkapnya, akan lebih seru kalau emosi tokoh-tokohnya dilibatkan semakin dalam, nyatanya yang saya anggap karakterisasinya paling ‘kena’ hanya dua tokoh: Peter dan Nathan. Lalu Nick? Nick siapa? Ada yang namanya Nick? Ah, sudahlah.
Satu yang paling saya sukai, penulis sepertinya tidak terjebak dengan stereotip khas dari cerita Peter Pan yang sudah banyak beredar. Terbukti bahwa figur seorang dengan kaki kayu dan tangan kait ala Kapten Hook di sini ternyata hanyalah pemeran tidak penting yang mati sambil lalu, dan Tinker Bell pun tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Bravo.
Walau pun di akhir cerita saya agak hopeless karena sepertinya tokoh-tokoh manusia ‘betulan’ di dunia manusia ini seperti dilenyapkan begitu saja eksistensinya saat pertarungan antara The lost Boys, kawanan sang Kapten, dan Ulfger (maksud saya, kemana perginya SWAT dan CIA ketika pertempuran makhluk-makhluk bertanduk melawan anak-anak kecil dan bangsa Elf tiba-tiba meletus di taman New York?) yang mana merupakan plot hole SANGAT BESAR buat saya.
Tapi berhubung cerita sepanjang hampir seribu halaman ini nggak membuat saya bosan sama sekali (saya perlu beri apresiasi juga bagi sang penerjemah, dengan gayanya yang rada ‘bold’ di awal tapi kembali jadi mainstream lagi di akhir, tapi gapapa) saya rasa bintang empat cukup lah.
Bravo Mr. BROM, karena sudah membuat saya penasaran mau baca karya asli dari James Barrie ★★★★
Epilogue
Anyway, seharusnya sekarang saya lagi nulis paper untuk tugas biokimia, bukannya nulis review novel fantasi.